Senin, 28 Maret 2011

Earth Hour 2011

Saya ikut berpartisipasi dalam Earth Hour 2011 ini. No lamps at all! Yeah!

Meskipun kalo diitung, partisipasi saya cuma seucrit, tapi rasanya senang, bangga, haru gimana gitu. Pokoknya mejikuhibiniu deh udah ikut memperpanjang umur bumi (walau cuma beberapa detik). Tapi sayang, rasa nan unyu itu harus sedikit ternoda ketika saya tau keadaan rumah tetangga saya. Dari sekian tetangga saya, cuma satu tetangga saya yang kooperatif, bahkan salah satu tetangga sebelah rumah saya pas sangat menjengkelkan. When people around the world try to lengthen the earth’s life expectancy, he turn on his air conditioner and lamps. Kok saya tau dia nyalain AC? Jelas saya tau, kipas AC-nya deket kamar saya dan suaranya kedengaran. Bikin gregetan pengen teriak, “Woy! Matiin noh lampu-lampu sama AC. Earth Hour nih! Earth Hour! Jangan masa bodoh gitu, partisipasi panjangin umur bumi dong. Kalo bumi come to the end, ente mau tinggal di mane coba?!”. Tapi yah, apa mau dikata? Beda kepala beda otak. Anak sama bapak yang satu rumah aja bisa beda pikiran, apalagi yang satu RT.

Oke, abaikan noda pada euforia Earth Hour. Terserah apa yang terjadi di bawah atap tetangga, nggak perlu dipikirkan. Alhamdulillah di rumah saya Earth Hour tidak ternoda. Bapak saya bahkan sampai menunda nge-charge hp sampai lewat jam 10 malam. Ibu saya pun nunda masak nasi demi Earth Hour, meskipun percakapan ini harus terjadi.

Bapak : semua lampu dimatikan kan? Tapi nge-charge hp gpp kan?
Kepompong : hmmm...
Bapak : yayaya. Harus nunggu. Yayaya *ngalungin charger hp, matiin hp*
Ibu : lha masak nasi?
Kepompong : he?
Ibu : harus nunggu kan? Yayayaya

Berasa jadi bos satu jam deh.

Dan alhamdulillah juga saya nggak piara ikan maupun sedang dalam usaha menetaskan telur ayam, penyu, maupun T-Rex, jadi lampu-lampu di rumah saya bener-bener mati total. Untuk ini, saya berterima kasih pada NGC karena selama 30 menit (jam 19.30-20.00) sebelumnya bikin serangan fajar berupa sosialisasi Earth Hour 2011. Bapak sama ibu saya jadi bener-bener yakin, no doubt, kalo meskipun cuma satu rumah yang matiin lampu, itu juga udah nyumbang beberapa detik buat memperpanjang umur bumi nan baik dan nggak sombong ini.
Berbagai hitung-hitungan tentang berapa banyak penghematan energi selama Earth Hour kasih liat jumlah yang fantastis. Saya jadi mikir, kenapa pemerintah seluruh dunia nggak kompakan bikin Earth Hour jadi “it’s a must thing” aja? Caranya dengan kompakan matiin power supply selama Earth Hour, kecuali buat penerangan jalan, sistem komputerisasi, dan hal-hal krusial lain. Yang di stop supply listriknya yang ke arah permukiman penduduk aja. Kan kalo kaya gitu Earth Hour yang cuma satu jam setahun itu jadi efektif banget dan angka-angka hasil berbagai penghitungan penghematan energi jadi semakin fantastis dan wow. Hasilnya Bumi jadi lebih lama masa eksistensinya...

Temuan selama satu jam dalam kegelapan :

1. Kompor gas bisa dijadikan lampu di dapur.
2. Buat yang rumahnya ngadep ke gunung, ketika rumah dalam kondisi gelap gulita, keluar rumah dan liat ke arah gunung deh. Pasti jadi bersyukur banget punya mata, jadi bisa liat pemandangan nan mempesona, titik-titik cahaya warna-warni lampu di gunung. Kelap-kelip gitu. Duit satu karung, berlian satu keranjang, mutiara segede batu kali pasti kalah mempesona dah!
3. Yang ini dari bapak saya, no lamps at all bikin meditasi tambah khusyuk. Katanya berasa lebih adem, tenang gitu.
4. Tidur jadi lebih nyenyak (kata sepupu saya).
5. Jadi bisa lebih menghayati pas denger themesong Tropicana Slim yang judulnya Remember, apalagi kalo sambil minum susu cokelat anget.

Rabu, 23 Maret 2011

Word Travels, I'm in Love

When we were ten, they asked again and we answered - rock star, cowboy, or in my case, gold medalist. But now that we've grown up, they want a serious answer. Well, how 'bout this: who the hell knows?!

-Jessica Stanley, Eclipse movie
Well, I think hell did a whisper to me. I know what I wanna do later on. I wanna do something like what Robin Esrock and Julia Dimon do on World Travels, being travel writers. Although the salary is not that great, but isn’t it great being able to do what you like? Go around the world, breath different air, see different sceneries, and the greatest thing is write down everything you fell and change other’s perception based on yours! Great, isn’t it?

Everybody want to change the world into better living place, right? Even Obama do.

Change the world! Change the world! Change the world!

And being a travel writer is one of the way to change the world into better living place. How come? Okay, let’s think it over. By traveling around the world, we can explore every single puzzle around. We can go to the isolated places, places which never come to one’s mind as tourist destination, then find out what are interesting about the places, then write them down. People who read our writing will think over about the places and soon, they will be courious and find out the places by themselves. An isolated place suddenly become a well-known place. The other thing is we can go to a controversial place, a place which is famous because of its negative side or its exclusiveness. Jordan for example. Jordan is well-known as Moslem country. People’s perception about Jordan is about a country where everybody, includeed its teenagers, lives based on Moslem regulation, the women wear their veils everywhere, no entertainment, and so on. We can go there, then try to blend with its people to find out how they live actually. After that, we write down what we found. It will give new information to the world. That Jordan isn’t only about Moslem. It’s people has varieties of entertainment as well, but a bit different from what Western has. There are unveiled women as well. It simply gives someone else a new information.

Okay, I think it’s enough for the English part.

Jadi, intinya, saya pengen nglakuin apa yang Esrock dan Dimon lakukan di Word Travels. Jalan-jalan ngider ke mana-mana, nyobain ini itu, belajar ini itu, trus bikin catatan-catatan kecil di note, trus lanjut bikin laporan perjalanan on the fly home. Lalu e-mail tulisan itu ke majalah/koran/media cetak lain. Tulisan dicetak. Dibaca orang. Kita jadi ikut mempromosikan suatu tempat ke mata dunia. Asik banget kan?

Akan lebih asik lagi kalo selain menjadi travel writer, juga menjadi seorang “jumper”. Pernah liat film judulnya Jumper? Nha “jumper” yang saya maksud sama seperti jumper judul film itu. Jadi, bisa lakukan apa yang disukai sekaligus kerja, tapi dengan cara yang hemat. Nggak perlu bayar biaya perjalanan, kan bisa langsung “loncat” ke tempat yang dituju. Nggak perlu bayar sewa penginapan juga, kan bisa “loncat” PP. Hemat kan?

Okay, back to reality. Skip bagian “loncat-loncat”.

Karena Word Travels juga saya jadi pengen ber-VAIO ria. Bukannya saya nggak bersyukur atas leppy saya nan unyu ini, tapi karena liat Esrock sama Dimone bertempur bersama VAIO merahnya saya jadi jatuh cinta sama VAIO. Kesannya bandel, tahan gempa dan tsunami gitu. Sebenernya nggak cuma jatuh cinta sama VAIO sih, tapi sama kameranya juga. Tapi untuk satu ini, alhamdulillah saya udah punya, jadi saya nggak sejatuh bangun seperti ke si VAIO.

Kesimpulannya, demi satu kontainer Beng-Beng, saya pengen jadi travel writer. Akhirnya saya punya cita-cita yang logis di masa-masa persiapan masa depan nan krusial ini.

Selasa, 15 Maret 2011

Bakwan Kawi

Jam makan siang, perut keroncongan, ya ke kantin aja...

Di kantin rame, mau pesen antri, nunggu lama, ya sabar aja. Namanya juga idup...

Di tas ada laptop, di kantin ada WiFi, ya online aja...

Online, liat tukang Bakwan Kawi, ya tulis di blog aja...

Banyak penjual Bakwan Kawi di sekitar kampus saya, di sekitar Jogja. Sebenarnya apa Bakwan Kawi itu? Entahlah. Meskipun sudah beberapa kali makan, saya tetap have no idea what Bakwan Kawi is actually.

Setiap dengar kata “bakwan”, pasti yang terbayang adalah bakwan jagung, bakwan udang, dan bakwan-bakwan lain yang bentuknya seperti layak dan normalnya gorengan. Tapi Bakwan Kawi ini nggak ada mirip-miripnya dengan bakwan jagung maupun bakwan udang. Bahkan saya yakin adonannya pun berbeda, tanpa sayur seperti layaknya bakwan.

Menurut saya, Bakwan Kawi adalah makanan dengan status labil akut. Namanya bakwan, tapi penyajiannya mirip Bakso Malang. Dimakan dengan kuah kaldu yang nggak berasa kaldunya, cuma sekedar asin dan bening, isinya mirip pangsit basah di Bakso Malang dengan dua macam, sekedar dikukus atau digoreng, tapi dengan adonan yang nggak ada mirip-miripnya dengan pangsit, bakwan, maupun bakso. Lha trus kaya apa dong? Kalo saya bilang, lebih mirip somay jadi-jadian karena terbuat dari kulit pangsit yang diisi adonan tepung kanji (?).

Bakwan Kawi juga, menurut saya, makanan dengan zero nutrition, kecuali karbohidrat. Tapi saya juga kurang yakin apakah karbohidrat yang terkandung dalam kulit pangsit dan tepung kanji itu mencukupi standar gizi dan memenuhi syarat sebagai karbohidrat sehat. Kenapa? Karena Bakwan Kawi nggak mengandung sayur sama sekali. Nggak mengandung serat sama sekali. Cuma kuah, potongan entah-somay-pangsit-jadijadian-atau-apapun-itu, bawang goreng, bahkan potongan seledri pun hanya disajikan oleh segelintir penjual Bakwan Kawi. Cuma satu hal yang dapat dipastikan dari Bakwan Kawi, bikin kenyang. Cuma kenyang aja.

Saya nggak pernah bisa menikmati makan Bakwan Kawi. Bakwan Kawi adalah makanan darurat saya ditengah jadwal kuliah yang membabi buta dan tidak ada waktu jeda yang memadai untuk ngesot ke warung makan. Saya memang harus berterima kasih pada Bakwan Kawi kaarena begitu mudah ditemui di sekitar kampus, tapi saya tetap merasa sulit menelannya. Rasanya kacau tiap makan Bakwan Kawi. Tiap sendok selalu memunculkan pertanyaan, “makanan apa ini sebenarnya?”. Tapi apa mau dikata, cacing di perut sudah riuh ngamen, jadwal kuliah memburu, jadilah Bakwan Kawi pahlawan saya.

Jujur, saya makan Bakwan Kawi di tengah himpitan jadwal kuliah hanya sebagai tindakan pencegahan agar sistem pencernaan saya punya sesuatu untuk dicerna, alih-alih mencerna dinding lambung saya yang memang sudah mengucap ikrar setia dengan maagh.

Tapi lepas dari segala keheranan saya tentang Bakwan kawi, ada juga teman saya yang hobi makan Bakwan Kawi. Tiap waktu makan di kampus, dia lebih sering pilih makan Bakwan Kawi dari pada aneka rupa makanan lain. Entah kenapa dia bisa suka. Saya sendiri selalu bertanya-tanya, “apa sih enaknya?”.