Senin, 15 November 2010

Mau 16 atau 17?

Bingung nggak sih mau shalat Idul Adha tanggal 16 Nopember atau 17 Nopember?

Satu Semesta, satu kalender bernama kalender Qomariyah, tapi kok tanggalnya bisa beda? Bingung?

Yang namanya Iedul Adha sudah pasti tanggal 10 Dzulhijah, tapi kok 10 Dhulhijah kalo dikonfersikan ke kalender Syamsiyah jadi ada dua gini?

Perhitungan kalender Qomariyah berdasarkan revolusi Bulan terhadap Bumi. Bulannya satu, Buminya juga cuma satu, berarti dasar perhitungannya cuma satu kan? Tapi kok 10 Dzhulhijahnya ada 2 gini?

Untuk mereka yang mengerti perhitungan penanggalan Qomariyah, tentu tidak mengalami kebingungan seperti orang awam. Kata berita-berita yang gentayangan 24/7, Muhammadiyah menetapkan pelaksanaan shalat Iedul Adha tanggal 16 Nopember karena tanggal 15 Nopember para jamaah haji sudah melakukan wukuf di Arafah, tapi kalo dilihat di kalender Qomariyah maupun Syamsiyah alias Masehi, tanggal 10 Dzulhijah itu tanggal 17 Nopember. Bah, macam mana pula ini??

Kalo dengerin argumentasi dari kedua belah pihak (pihak yang menganggap 10 Dzulhijah jatuh pada 16 Nopember dan pihak yang menganggap 10 Dzulhijah jatuh pada 17 Nopember) dua-duanya masuk akal, berdasar, dan bisa diterima. Dan itu bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru bikin tambah bingung.

Kata Bapak Din Syamsyudin, Ketua Umum Muhammadiyah,
... perbedaan tanggal ini harus disikapi dengan bijaksana, jangan dibesar-besarkan.”
Aduh, bapak! Sumprit deh, nggak ada niat ngebesar-besarin, nggak ada niat ngebingung-bingungin juga, tapi ini kepala tuing-tuing syalala deh.

Saya tanya ke beberapa orang, jawabannya macam-macam.

Kepompong : sholat Iedul Adha tanggal 16 apa 17 Nopember?

Orangyangpertama : kan saya abdi negara, yang ngasih gaji negara, jadi ya ngikut negara, tanggal 17 Nopember.

*semudah itukah menentukannya? Ngikut yang ngasih gaji? Lha kalo misal seorang muslim yang kebetulan kerjanya di perusahaan milik non-muslim gitu nguikut yang mana dong? Kan yang ngasih gaji mereka nggak Idul Adha.

Orangyangkedua : ya saya ngikut 16 Nopember aja, yang duluan.

*saya jadi curiga, kalo misal ada yang tanggal 15 Nopember jangan jangan dia ngikut tanggal 15 Nopember juga...hmmm....

Orangyangketiga : ya jelas tanggal 17 Nopember. Kan dikalender udah dicetak gitu. Dari awal yang ngitung 10 Dzulhijah=17Nopember, udah dicetak ratusan juta lembar gitu ya pasti itu yang bener dong.

*oke, bisa diterima.

Orangyangkeempat : saya ngikut yang tanggal 16 Nopember aja. Hari ini saya udah puasa, besok udah bisa sholat.

*lha kalo misal ada yang hari Minggu kemarin puasa, berarti hari ini udah bisa sholat juga dong?

Orangyangkelima : 17 Nopember. Nggak usah tanya tanya lagi dah, itu yang bener. Feelingku gitu.

*yakin karena feeling. Saya curiga jangan jangan dia cenayang. Harus diselidiki jangan jangan dia punya hubungan darah sama Si Paul gurita. Mungkinkah dia sepupunya si Ollie gurita yang sepupunya Paul gurita?

Orangyangkeenam : tau deh. Nggak sholat kali. Bingung gini. Daripada salah, ya mending nggak sekalian.

*nah lo??

Mau shalat kok kaya mau beli beras gini. 16 aja deh. 17 ajalah. 16 yang duluan. 17 aja knape? Udah, 16 aja. Make it 17th.

Nggak usah 16, 17, 16, 17 gini. Pasnya aja berape? Buruan deh....

Selasa, 09 November 2010

Curhat Merapi

Semesta raya selalu misterius. Ibarat cewek, dia selalu membuat cowok cowok penasaran. Setiap hari para ilmuwan bekerja, meneliti, menghabiskan waktu mereka di depan simulator, mikroskop, teropong, monitor pengendali satelit, dan aneka rupa peralatan lainnya demi menguak satu per satu misteri yang disimpan semesta. Tapi ribuan hari yang mereka habiskan belum mampu menyingkap tabir semesta. Keterbatasan manusiakah? Atau Tuhan terlalu kaya akan ilmu pengetahuan? Entahlah.

Makin hari cuaca juga makin nggak bersahabat. Ibarat cewek yang lagi didekati cowok, dia tarik ulur terus, sok misterius. Cuaca pun demikian, tiap hari selau bikin geregetan sampai sampai Sherina nyanyi
geregetan, oh aku geregetan. Apa yang harus kulakukan...


Hawa panas ditengah guyuran hujan yang membabi buta dan terkadang hawa dingin misterius di pagi hari meskipun matahari bersinar cerah ceria. Mungkinkah Kementrian Sihir telah kehilangan kendali atas dementor dan dementor pun berkeliaran? Entahlah.

Indonesia negara tropis yang memiliki 2 musim pun seperti tidak bermusim lagi. Tidak jelas kapan musim hujan, kapan musim kemarau, sepanjang tahun adalah musim hujan-kemarau. Seolah olah kedua musim itu telah berikrar akan berduet bersama macam Anang-Syahrini. Kalau kata lagu ada Desember Kelabu, sekarang setiap bulan adalah kelabu. Bulan Juni yang seharusnya kita mandi matahari, ternyata diguyur hujan juga. Dan itu berefek pada banyak hal. Dunia fashion misalnya. Pagi yang dingin membuat orang memilih memakai baju tebal, tapi siangnya ternyata panas terik. Bikin banyak orang jadi saltum, salah kostum. Atau bahkan sebaliknya. Pagi hari ternyata udah panas, orang orang jadi memilih memakai baju yang bahannya adem, tapi ternyata siang hari entah darimana ada hawa dingin yang bikin merinding (saya masih berkeyakinan ini efek dementor). Kalo udah kaya gini, AC, kipas angin, kipas sate, heater dan lain sebagainya tidak terlalu membantu manusia untuk survive. Dan yang lebih menyesakkan dada adalah hujan belang. Disini hujan, tapi 500 m kemudian panas terik, lalu 1 km kemudian gerimis, dan 1,5 km berikutnya hujan deras dan selanjutnya panas memanggang lagi.

Gunung-gunung berapi yang sebelumnya adem ayem, senyum bersahabat, pun kini menampakkan taringnya. Diawali beberapa bulan lalu, Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang katanya sudah mati tapi bergejolak lagi. Kemudian disusul Gunung Merapi di Jogja-Jateng yang juga nglilir dari tidurnya. Dan sekarang gunung-gunung berapi lainnya pun ikut bergejolak. Seolah olah mereka iri dengan Sinabung dan Merapi yang begitu diperhatikan para ahli vulkanologi akhir akhir ini.

Dan bangkitnya Merapi , nampaknya, yang paling menghebohkan. Merapi ibarat orang masuk angin, mual-mual dan muntah mulu. Jogja yang panas jadi semakin panas karena Merapi masuk angin. Kaya air dimasukin teko listrik trus dimasukin microwave dan ditaruh di atas kompor, panasnya berlipat lipat. Kalo udah kaya gitu, orang orang cari pelampiasan pada aneka minuman dingin. Ikut seneng deh saya ngeliat yang jualan juice, es pisjo, es doger, milkshake, es dawet ayu cakep, cantik, maupun ganteng, es krim, es buah, es teler, es cincau, es campur, es batu pasir, bata, maupun batako, pada senyum seneng dagangan mereka laris. Tapi itu hanya sampai sekitar dua minggu yang lalu sebelum awan panas menyembur ke segala arah. Sekarang mereka semua pada ngungsi. Sekolah sekolah di Jogja, Magelang, dan sekitarnya diliburkan. Desa desa di lereng Merapi jadi padang abu. Jadi kaya kota mati. Di mana mana debu. Daun nggak hijau lagi, tapi abu abu. Air hujan nggak bening lagi, tapi kecoklatan. Udara nggak bikin lega lagi, tapi bikin bersin. GOR UNY yang biasanya ramai dengan orang jogging jadi ramai dengan orang ngungsi. Gelanggang Mahasiswa UGM yang biasanya ramai orang orang pada kongkow kongkow jadi ramai orang ngungsi juga. Daerah Maguwo yang biasanya bising dengan suara mesin pesawat jadi ramai suara sirine. Dan ternyata nggak hanya Jogja dan seputar Merapi yang ramai dengan kerikil, pasir, dan abu yang turun dari langit, bahkan Ciamis dan Bandung pun ikut dibagi abu oleh Merapi. Merapi emang baik, dia berniat baik membagi abunya sama rata ke berbagai penjuru, tapi sayang niat baik tidak selalu diiringi hasil yang baik. Niat baik Merapi itu pun justru meresahkan.

Tapi tak apalah, saya nggak sepenuhnya marah, sebel, kesel, kecewa karena nglilirnya Merapi. Kenapa? Karena saya jadi libur 1 minggu. Saya juga jadi ngerasain hujan kerikil, pasir, dan abu, juga ketiganya mixed dengan air. Saya jadi kepikiran, kalo saya bisa bertahan 1 minggu aja di Jogja dengan keadaan demikian, mungkin saya jadi bisa langsung buka toko material bangunan tanpa modal sepeser pun. Tapi untung saya masih waras, jadi saya pilih pulang kampung, ngungsi ke kaki Gunung Lawu, home sweet home, dan bercerai dengan jas hujan dan masker. yang harus selalu melekat pada saya setiap keluar rumah di Jogja. Nggak perlu sedih, menggerutu, atau pun marah, semuanya di nikmati aja. Kalo kata iklan rokok enjoy aja, kalo kata Bondan ya sudahlah..., kalo kata She let it flows...

gambar pertama dan ke-2 dari kost saya
gambar ke-3 Jakal Km 5, 5 November 2010, 06.53
gambar ke-4 Stasiun Lempuyangan, 5 November 2010, 12.10