Selasa, 09 November 2010

Curhat Merapi

Semesta raya selalu misterius. Ibarat cewek, dia selalu membuat cowok cowok penasaran. Setiap hari para ilmuwan bekerja, meneliti, menghabiskan waktu mereka di depan simulator, mikroskop, teropong, monitor pengendali satelit, dan aneka rupa peralatan lainnya demi menguak satu per satu misteri yang disimpan semesta. Tapi ribuan hari yang mereka habiskan belum mampu menyingkap tabir semesta. Keterbatasan manusiakah? Atau Tuhan terlalu kaya akan ilmu pengetahuan? Entahlah.

Makin hari cuaca juga makin nggak bersahabat. Ibarat cewek yang lagi didekati cowok, dia tarik ulur terus, sok misterius. Cuaca pun demikian, tiap hari selau bikin geregetan sampai sampai Sherina nyanyi
geregetan, oh aku geregetan. Apa yang harus kulakukan...


Hawa panas ditengah guyuran hujan yang membabi buta dan terkadang hawa dingin misterius di pagi hari meskipun matahari bersinar cerah ceria. Mungkinkah Kementrian Sihir telah kehilangan kendali atas dementor dan dementor pun berkeliaran? Entahlah.

Indonesia negara tropis yang memiliki 2 musim pun seperti tidak bermusim lagi. Tidak jelas kapan musim hujan, kapan musim kemarau, sepanjang tahun adalah musim hujan-kemarau. Seolah olah kedua musim itu telah berikrar akan berduet bersama macam Anang-Syahrini. Kalau kata lagu ada Desember Kelabu, sekarang setiap bulan adalah kelabu. Bulan Juni yang seharusnya kita mandi matahari, ternyata diguyur hujan juga. Dan itu berefek pada banyak hal. Dunia fashion misalnya. Pagi yang dingin membuat orang memilih memakai baju tebal, tapi siangnya ternyata panas terik. Bikin banyak orang jadi saltum, salah kostum. Atau bahkan sebaliknya. Pagi hari ternyata udah panas, orang orang jadi memilih memakai baju yang bahannya adem, tapi ternyata siang hari entah darimana ada hawa dingin yang bikin merinding (saya masih berkeyakinan ini efek dementor). Kalo udah kaya gini, AC, kipas angin, kipas sate, heater dan lain sebagainya tidak terlalu membantu manusia untuk survive. Dan yang lebih menyesakkan dada adalah hujan belang. Disini hujan, tapi 500 m kemudian panas terik, lalu 1 km kemudian gerimis, dan 1,5 km berikutnya hujan deras dan selanjutnya panas memanggang lagi.

Gunung-gunung berapi yang sebelumnya adem ayem, senyum bersahabat, pun kini menampakkan taringnya. Diawali beberapa bulan lalu, Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang katanya sudah mati tapi bergejolak lagi. Kemudian disusul Gunung Merapi di Jogja-Jateng yang juga nglilir dari tidurnya. Dan sekarang gunung-gunung berapi lainnya pun ikut bergejolak. Seolah olah mereka iri dengan Sinabung dan Merapi yang begitu diperhatikan para ahli vulkanologi akhir akhir ini.

Dan bangkitnya Merapi , nampaknya, yang paling menghebohkan. Merapi ibarat orang masuk angin, mual-mual dan muntah mulu. Jogja yang panas jadi semakin panas karena Merapi masuk angin. Kaya air dimasukin teko listrik trus dimasukin microwave dan ditaruh di atas kompor, panasnya berlipat lipat. Kalo udah kaya gitu, orang orang cari pelampiasan pada aneka minuman dingin. Ikut seneng deh saya ngeliat yang jualan juice, es pisjo, es doger, milkshake, es dawet ayu cakep, cantik, maupun ganteng, es krim, es buah, es teler, es cincau, es campur, es batu pasir, bata, maupun batako, pada senyum seneng dagangan mereka laris. Tapi itu hanya sampai sekitar dua minggu yang lalu sebelum awan panas menyembur ke segala arah. Sekarang mereka semua pada ngungsi. Sekolah sekolah di Jogja, Magelang, dan sekitarnya diliburkan. Desa desa di lereng Merapi jadi padang abu. Jadi kaya kota mati. Di mana mana debu. Daun nggak hijau lagi, tapi abu abu. Air hujan nggak bening lagi, tapi kecoklatan. Udara nggak bikin lega lagi, tapi bikin bersin. GOR UNY yang biasanya ramai dengan orang jogging jadi ramai dengan orang ngungsi. Gelanggang Mahasiswa UGM yang biasanya ramai orang orang pada kongkow kongkow jadi ramai orang ngungsi juga. Daerah Maguwo yang biasanya bising dengan suara mesin pesawat jadi ramai suara sirine. Dan ternyata nggak hanya Jogja dan seputar Merapi yang ramai dengan kerikil, pasir, dan abu yang turun dari langit, bahkan Ciamis dan Bandung pun ikut dibagi abu oleh Merapi. Merapi emang baik, dia berniat baik membagi abunya sama rata ke berbagai penjuru, tapi sayang niat baik tidak selalu diiringi hasil yang baik. Niat baik Merapi itu pun justru meresahkan.

Tapi tak apalah, saya nggak sepenuhnya marah, sebel, kesel, kecewa karena nglilirnya Merapi. Kenapa? Karena saya jadi libur 1 minggu. Saya juga jadi ngerasain hujan kerikil, pasir, dan abu, juga ketiganya mixed dengan air. Saya jadi kepikiran, kalo saya bisa bertahan 1 minggu aja di Jogja dengan keadaan demikian, mungkin saya jadi bisa langsung buka toko material bangunan tanpa modal sepeser pun. Tapi untung saya masih waras, jadi saya pilih pulang kampung, ngungsi ke kaki Gunung Lawu, home sweet home, dan bercerai dengan jas hujan dan masker. yang harus selalu melekat pada saya setiap keluar rumah di Jogja. Nggak perlu sedih, menggerutu, atau pun marah, semuanya di nikmati aja. Kalo kata iklan rokok enjoy aja, kalo kata Bondan ya sudahlah..., kalo kata She let it flows...

gambar pertama dan ke-2 dari kost saya
gambar ke-3 Jakal Km 5, 5 November 2010, 06.53
gambar ke-4 Stasiun Lempuyangan, 5 November 2010, 12.10



3 komentar:

Dr. Andika Sanjaya, S.IKom, M.Si. | Konsultan Teknopolitik dan Medsos Pemerintah mengatakan...

Haduh, ternyata UGM libur ya.hehe

Oh iya, jadi teringat, dulu kalau ga salah Mbah Maridjan pernah berpesan jangan menambang pasirnya Merapi. Sekarang malah 'pasirnya' pada keluar semua ya.

octarezka mengatakan...

jd...gmn keadaan dsn skrg??
lam knal y...nice blog.
:')

WindaPresti mengatakan...

@Mz Dikung. . .
UNY-UGM libur. dan (UMP, FYI versi bapakku) aku di UNY, mz

sekarang kalo nggak ditambang malah sayang.nggak baik nolak rezeki.. hhe

@Rezkaocta. . .
alhamdulillah sekarang udah aman. .
salam kenal juga yaa... :)
makasih loh..