Senin, 19 Desember 2011

So.... I Lost the Words

Nothing to say. I am just ummm.... happy. :)



Selasa, 13 Desember 2011

:)

How to turn a cloudy morning into a shinny day?
Just put earphone on and play your favourite songs. Don't forget to put a little smile on it.

And here they are on my most played list. .

Andien - Together Again (Janet Jackson Cover)

Israel Kamakawiwo'ole - Somewhere Over the Rainbow

Phill Collins - True Colours

Oren Lavie - Her Morning Elegance

Owl City - To the Sky

Adera - Lebih Indah

Homogenic - Taste of Harmony

Homogenic - Utopia

Linkin Park - Iridescent

Sabtu, 03 Desember 2011

Menggalau di Tengah Hujan

Tiap weekend saya pulang ke rumah, tapi dari Jumat malem sampai Minggu sore saya cuma di rumah tau kalaupun pergi ya sama bapak-ibu. Kemarin malam, tiga teman saya datang ke rumah. Saya jadi sadar kalo selama ini saya jaraaaaaang ketemu sama teman-teman sebelum kuliah, tetangga-tetangga saya, bahkan sama tetangga yang tepat di sebelah rumah. Ketemu teman-teman saya kemarin, saya jadi kaget. Mereka keliatan beda. Tapi, jangankan berasa beda ngelit teman-teman saya, ngeliat tetangga sebelah rumah saya temen saya main dari jaman baca aja masih sulit pun saya pake bengong dulu. Saya jadi bertanya-tanya, selama ini saya ngapain aja sih?

Belajar? Kalo belajar, yang saya pelajari apa ya? Perasaan ilmu saya ya gini-gini aja.

Main? Main ke mana? Perasaan kalo keluar, saya paling cuma beli buku, itu sudah dapat di pastikan ke Gramedia untuk buku terbitan baru atau Budi Laksana untuk buku jaman perang, atau beli baju, itu pun paling cuma ke satu diantara dua mall yang ada di Solo.

Tidur? Nggak jugaaaaa! Saya nggak sengantukan itu kalo di rumah.

Lha terus selama ini saya ngapain aja? Ke mana aja?

Dan akhirnya, hari ini saya berkesempatan keluar rumah (tapi cuma sendirian juga sih) karena koneksi internet di rumah yang ngadat entah karena emang jaringan lagi soak atau jaringan lagi sensi sama saya, tapi yang pasit, ibu saya udah bayar tagihan kok. Saya nggak pengen ngeluh sih, tapi ya gimana? nggak-nggak-nggak kuat.

Dan sekarang, saya ada di warnet. Rasanya asik karena ganti suasana tapi rada aneh gimana gitu juga. Terakhir kali saya main ke warnet ini sudah entah kapan, itungannya udah pake tahun. Dan karena nggak ada motor di rumah dan ini lagi hujan juga, saya mau nggak mau harus naik yang rodanya ada empat yang kali ini unfortunately karena ulah saya sendiri, bau obat! Beuh! Pas masuk warnet aja si mbak yang jaga sampai tanya, "lagi sakit atau abis dari rumah sakit, mbak?".

Oke, saya akhiri saja. Kalo saya lanjutkan, isinya pasti penuh keluh kesah yang seharusnya tidak boleh. Lagian saya ngeri juga, dompet saya ketinggalan di kotak beroda empat. Takut ada yg kecewa kalo misal ada yang berniat jahat mengambil secara paksa dompet saya, ntar dia malah kecewa karena emang dompet saya nggak ada isinya.

Minggu, 27 November 2011

Hujan di Bulan November

Bulan ini punya beberapa tanggal cantik, ada tanggal 11-11-11 dan 20-11-2011. Saya menyebutnya tanggal cantik, bukan tanggal baik. Karena semua tanggal itu baik, kalo nggak baik, nggak mungkin diakui dan diterima keberadaannya kan? Dan selamat ya buat para pasangan yang berhasil memanfaatkan tanggal-tanggal cantik itu untuk menyibukkan petugas KUA. Semoga pernikahannya secantik tanggalnya... Selamat juga untuk mereka yang menjadi orang tua di tanggal-tanggal cantik tersebut. Semoga anak-anaknya tumbuh dan berkembang dengan cantik...

****

Sekarang sudah musim hujan dan saya senang karenanya. Banyak cerita di musim hujan.
Hujan di pagi hari selalu bikin saya semangat. Hujan yang saya maksud bukan hujan dengan pasukan titik-titik air yang membabi buta, tapi hujan yang sedang-sedang saja, nggak deras tapi nggak rintik-rintik juga. Intinya hujan yang bikin basah tapi nggak bikin bencana.

Daaaaaaaaaaaaaaaaaan hujan di pagi hari yang paling berkesan buat saya adalah hujan di hari Senin.

I wake up at dawn, opened my window, and catch the smelt of wet ground in sudden. It was “sesuatu banget”.

Sholat jadi khusyu, berangkat kuliah jadi semangat, apalagi kuliah di jam pertama dengan dosen yang mirip mbah kakung saya. bener-bener 100% deh. What a Monday!

Hujan di siang hari selalu bikin adem. Siang hari, setelah beraktivitas dari pagi sampai Dzuhur, terus tiba-tiba hujan memberikan sebuah surprise kelegaan buat saya. Berasa kaya lari maraton di padang pasir lalu tiba-tiba ketemu tenda dengan AC dan dipersilakan minum jus strawberry. Bikin adem banget!

Hujan di sore hari pun berkhasiat bikin kembali 100%. Survey membuktikan, menurut kebanyakan mahasiswa, kuliah setelah Ashar adalah percuma, pemborosan waktu. Kenapa? Karena, menurut mereka, waktu antara Ashar dan Maghrib adalah jam-jam bodoh, jam-jam di mana otak jadi soak. Hasilnya bukannya nambah ilmu, tapi nambah dosa karena ngomongin dosen dan maki-maki ini itu. Tapi, buat saya, hujan di sore hari kasih kekuatan super buat meluncur ke sarang burung elang di ujung pohon redwood. Bikin kuliah di jam-jam bodoh jadi kaya les privat dengan dosen setampan Rizky Hanggono dan kemampuan menjelaskan detail-detail seperti oma Victoria Fromkin. Rasanya kaya seorang pemain basket di tengah pertandingan basket dengan lawan yang super jagoan yang bikin lari ke sana-sini ngejar bola tanpa henti yang sukses bikin capek lahir batin, lalu tiba-tiba dikasih time-out, dan di time-out itu si pemain basket bisa ngelap keringat, minum, atur napas, atur strategi, singkatnya recharge energi. Super sekali!

Hujan di malam hari sukses bikin saya tidur nyenyak. Suara titik-titik air yang ketemu genting kedengeran kaya lullaby termerdu di telinga saya. Bikin nggak tahan dengan rayuan trio kwek-kwek dunia mimpi (kasur-bantal-guling).

Intinya, saya suka hujan!

Hujan bikin hawa jadi adem. Jadinya pilih-pilih baju gampang. Pilih baju ini, masih kedinginana, tumpuk pake baju itu. Bikin gampang mix n match baju. Beda kalo sama musim kemarau, pake baju gimana aja berasa gerah, kecuali kalo di ruangan ber-AC. Dan terlalu sering berada di ruang ber-AC itu berarti kita nggak saya Bumi dong ya?

***

And, the dish of the month is “bubur telur naga”....

Namanya aja gahar, sangar, bikin keder gimana gitu, tapi above all, rasanya lembuuuutt!

Jadi, bubur telur naga itu isinya bubur sum-sum, syrup gula jawa, sama tiga bulet-bulet warna merah. Bubur sum-sumnya lembuuuuutttt, lumer banget di lidah. Syrup gula jawanya bagus, nggak kental-kental banget, tapi nggak encer kaya air juga, pas. Tiga bulet-bulet warna merah itu yang diasosikan sebagai telur naga. Rasanya perpaduan antara bulet-bulet yang biasa ada di wedang ronde dan mochi kacang. Kulitnya dari tepung ketan yang ada isinya parutan kelapa yang dicampur gula jawa sama kacang tumbuk. Harganya Rp 5.000. Nggak berat di kantong kan, ya?


Sabtu, 22 Oktober 2011

Apa Cita-Citamu?

Kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin-kemarin, tetangga kamar saya tanya, apa cita-cita terbesar saya.

X : apa cita-cita terbesar kamu?

Saya : bagaimana supaya saya bisa selalu berpikir positif.

X : lha kok gitu?

Saya : lha kalo kita bisa berpikir positif setiap saat, hal-hal yang terjadi pada kita pasti positif juga, hal-hal positif akan selalu mengikuti kita. Semacam resonansi gitulah.

X : oh, yayayaya! Tapi, maksudku cita-cita kamu apa? Contohnya aku, aku kan pengen jadi dokter hewan gitu. lha kamu apa?

Saya : apa ya?

Ditanya apa cita-cita saya, saya pun bingung. Dulu waktu kecil, saya selalu, meskipun beruba-ubah, punya jawaban pasti untuk cita-cita saya.

Dulu saya bercita-cita jadi diplomat karena mbah kakung saya dari ibu (biasa saya panggil mbah Awan) sering cerita pengalamannya bersama Pak Ali Alatas, apa yang mereka obrolkan, komentar-komentar Pak Ali tentang keadaan politik maupun ekonomi dunia, terutama Amerika, pada masa itu.

Lalu saya bercita-cita jadi dokter anak karena saya ingin menjadi seperti Dokter Sulatin yang merawat saya bertahun-tahun. Dulu saya punya gejala bronkitis, karenanya saya harus berobat intensif. Seminggu sekali saya harus ke dokter dan dokter itu Pak Sulatin. Orangnya ramah, lembut, baik, santun, tahu bagaimana berkomunikasi dengan anak sehingga kewajiban minum obat bukan masalah bagi saya karena instruksi beliau yang begitu entahlah, saya tidak tahu kata apa untuk menyebutnya. Setiap saya harus dirawat di rumah sakit, saat waktunya doctor visit, beliau selalu membawakan hadiah kecil dan mengajak ngobrol saya, nggak cuma periksa kondisi lalu lapor pada orang tua. Karena kebaikan beliau, saya pengen jadi dokter anak. Tapi sayang, belum lagi saya tahu bagaimana mengucapkan terima kasih atas perawatan yang beliau berikan, Pak Sulatin sudah meninggal. Beliau meninggal saat saya juga dirawat di rumah sakit yang sama. Di hari terakhir saya di rawat di rumah sakit itu, beliau meinggal. Tapi, meski demikian, sampai sekarang saya masih ingat betul bagaimana wajah dan perawakan beliau. Setiap lewat depan rumahnya pun saya nggak melewatkan untuk menengok sekedar nostalgia dengan pemandangan yang dulu setiap minggu, selama bertahun-tahun, saya lihat.

Kira-kira kelas 4 SD, setelah Pak Sulatin meninggal, saya kembali bercita-cita menjadi diplomat. Masih karena alasan yang sama, tapi ditambah dengan keinginan saya untuk jalan-jalan ke luar negeri secara gratis segaligus digaji oleh negara.

Lalu saat di SMP cita-cita saya berganti menjadi dokter gigi. Ini karena Dokter Irawan. Beliau dokter gigi saya. Setiap sekian bulan, saya periksa gigi ke Dokter Irawan, dan karena perawakan beliau yang mirip dengan Pak Sulatin, saya pun ingin jadi dokter gigi. Konyol. Kok sepertinya saya sangat imitatif ya?

Lalu ketika SMA, saya mulai bingung apa sebenarnya cita-cita saya. Saya tidak ingin menjadi dokter apapun lagi karena menurut saya resikonya besar, berurusan dengan nyawa orang lain. Saya juga ragu-ragu tentang cita-cita saya menjadi diplomat karena saya mulai paham betapa chaos-nya dunia politik dan hubungan internasional itu.

Tapi akhirnya saya punya jawaban untuk pertanyaan housmate saya, saya ingin menjadi smart mom. Saya ingin menjadi seorang yang berilmu sehingga nantinya saya bisa menjalankan kodrat saya sebagai wanita, menjadi seorang ibu, yang smart. Bisa menjawab semua pertanyaan anak saya dengan tepat. Tentang profesi, saya ingin memilik profesi tepat untuk saya, apapun itu profesinya, entah guru, diplomat, dokter (oh, tidak mungkin. Saya tidak kuliah di FK. Hha), wiraswasta, artis, penyanyi (bisa nyanyi gitu? bersin aja fals. ), atau apa sajalah yang penting masih dalam koridor halal dan tayibah.

Selasa, 18 Oktober 2011

Suatu Siang di Warnet Itu

Di suatu hari Kamis minggu kemarin, saya di warnet depan kost, download tugas karena modem saya belum punya nyawa (baca : belum diisi pulsa).Tapi rupanya sistem di warnet itu tidak kooperatif dengan saya. Dua kali saya harus pindah komputer dan tugas pun tidak terdownload.

Saya : mbak, kok ini status network-nya nggak aktif, problem loading page terus?

Si mbak operator : oh, gitu ya, mbak? Pindah aja ya, mbak? Ke komputer 5. Tadi yang sebelumnya juga kaya gitu, terus pindah ke komputer lain.

Saya : *dalam hati* lha situ tau komputer itu lagi trouble kenapa saya tadi disuruh ke sana?!

Saya : berati saya ulang semua lagi?

Si mbak operator : iya, mbak.

Saya : ya udah, mbak. Saya ke komputer nomer 5.

Lalu saya pindah ke komputer nomer 5. Belum lagi 5 menit, udah trouble lagi. Komputer tiba-tiba mati. Saya tanya lagi ke mbak operator.

Saya : mbak, kok ini tiba-tiba mati?

Si mbak operator : oh, mati ya, mbak? Mungkin emang lagi trouble.

Saya : hmmm.... terus gimana, mbak? Pindah lagi?

Si mbak operator : mungkin koneksi lagi jelek, mbak. Mbak download ya?

Saya : iya.

Si mbak operator : lha, si mbak download sih.

Saya :*diem*.

Dalam hati saya ngomel-ngomel. Lha ke warnet ngapai kalo nggak bisa download? Fesbukan doang? Twitteran doang? Kalo cuma fesbukan sama twitteran, saya pake hp juga bisa, mbak. Lebih cepet malah. Nggak perlu saya bela-belain ke warnet cuma buat fesbukan sama twitteran.
Harusnya si mbak itu tempel pemberitahuan : “Facebooking and Tweeting only. No downloading.”
Dan lagi si mbak ini kok jawabannya pake ‘mungkin’ semua. Lha kan bisa dilihat di komputer operator bermasalah nggak komputer-komputernya, gimana traffic-nya, lancar nggak, trouble nggak.

Tapi ya tapi, nggak seharusnya saya marah-marah. Useless, wasting energy. Percumi juga mau marah, nggak bikin masalah selesai, malah tambah dosa, dongkol, energi negatif. Dan saya nulis ini pun nggak bermaksud buat marah-marah, cuma sekedar sharing aja. Sodara saya ada yang punya bisnis warnet juga, saya juga nggak mau kalo tiba-tiba ada kesalahan yang tidak disengaja lalu sodara saya atau karyawannya disalahkan sama konsumen, tapi saya cuma mau bilang, apapun profesi yang dijalani, be professional. Give the best.

Kamis, 13 Oktober 2011

Sudah tua kah saya?

Barusan lihat-lihat folder foto-foto zaman SMP-SMA. Kok rasa-rasanya muka (bukan kulit. Saya tau warna kulit saya nggak cerah, tapi kecoklatan, eksotis (?)) saya lebih cerah pas dulu ya? Lebih banyak ketawa. Lha sekarang? Entahlah. . .

Jumat, 16 September 2011

Ramadhan goes by, the elation remains...


Ini masih bulan Syawal kan? Dan nggak ada kata terlambat untuk meminta maaf kan? Iya kan? Kan?

Selamat Idul Fitri 1432 H. Maaf lahir batin yaaa...

Tapi saya agak heran, kenapa kok tiap Lebaran jadi pada rajin maaf-maafan? Itu tradisi atau memang perintah dari Yang Maha Sempurna? Terus, sebenarnya Lebaran itu apa? Sampai sekarang, otak saya mencerna Lebaran berasal dari kata “Lebur” dengan akhiran-an. Jadi lebaran equals leburan. Mungkin maksudnya melebur semua yang negatif-negatif setelah menjadi kepompong (puasa) selama sebulan, gitu ya?

Entahlah...

Ramadhan tahun ini rasanya seperti kedipan mata ekspres buat saya. Rasanya baru kemarin bangun jam 3 pagi gara-gara suara toa masjid koar-koar bangunin buat sahur, tau-tau udah shalat pake takbir 7x (Shalat Ied), tau-tau udah ngicip nastar, kastengel, sama sirup cocopandan di kira-kira selusin rumah sodara. Fiuhhhhh! Cepet bener ye?

Meskipun rasanya super ekspres, saya tetap menikmati Ramadhan kemarin. Hausnya pas puasa, betapa gondoknya kalo liat iklan sirup pas siang-siang, berisiknya resistal piano di perut (perut saya kalo laper suaranya merdu gilak), susahnya kelopak mata diajak kerja sama pas sahur, leganya pas buka puasa, meningkatnya frekuensi istighfar, peningkatan semangat wudlu dan mandi, dan yang khas dari Ramadhan lainnya. Tapi, yang istimewa bukan hal-hal kecil tapi patut ditertawakan itu, Ramadhan ini saya mendapat, nggak sekdar siraman, tapi guyuran rohani. Ramadhan kali ini saya ikut, sebut saja, pesantren kilat. It is such an eye-opener. Ternyata Al-Quran itu benar-benar dahsyat, sodara-sodara. Jangan dikira Al-Quran isinya cuma tentang shalat, puasa, zakat, haji, tapi sebenarnya isinya ngalahin toserba, ensiklopedia, toko buku, hypermart, atau apapun itu yang pakai serba-serba. Subhanannlah...

Dari super-short-course selama Ramadhan kemarin, saya sadar betapa bodohnya saya. Ini nggak ngerti, itu nggak tahu, yang ini belum paham, yang itu nggak jelas. Saya jadi heran, apa yang saya lakukan selama 19 tahun hidup saya??? entahlah...

Terlepas dari betapa carut-marutnya pengetahuan saya tentang esensi dari hidup saya, saya merasa meskipun Ramadhan sudah usai, nastar sama kastengel juga udah abis, semangat yang saya dapatkan selama Ramadhan kemarin masih ada dalam diri saya. Thank You, Allah.

Saya merasa hidup ini sayaaaaaaanggg banget kalo diisi dengan keluhan-keluhan. Sayang banget buang-buang energi mahadahsyat Cuma buat memancarkan getaran negatif, menarik dan menangkap resonansi negatif. Apa sih maksudnya getaran negatif, resonansi negatif itu? Silakan baca buku “The Law of Attraction”.

Saya jadi tahu meditasi itu benar-benar secret-amazing-weapon buat seize the day. Saya kenal meditasi nggak baru-baru aja, udah lama sejak bapak-ibu saya ikut kegiatan-kegiatan yang intinya meditasi tapi dibungkus dengan aneka nama, tapi saya baru menar-benar mencoba diving di lautan bernama maditasi baru-baru aja. Dan meskipun saya baru berenang-renang di permukaan, belum bener-bener liat koral-koral, anemon, karang, maupun isi dasar lautnya, saya merasa it’s great, sodara-sodara.

Dan satu hal yang paling erat dengan Lebaran yang adalah berkaitan dengan angpao. Beberapa teman saya bilang Lebaran adalah saatnya panen duit. Saya pun heran jadinya. Seumur-umur jumlah nominal angpao yang saya dapatkan paling banyak adalah Rp 350.000. bukan karena keluarga dan kerabat saya sombong atau pelit, tapi karena seberapa pun tajirnya orang yang kasih angpao, saya selalu merasa risih kalo dikasih angpao gitu. Rasanya ngeganjel gimana gitu. Nggak enak banget. Alhasil, setiap Lebaran saya cenderung menghindar saat ada yang bagi-bagi angpao. Dan kali ini saya dapat Rp 45.000 dari mbah uti saya dan sodara yang saya kurang tau bagaimana saya harus menyebutnya. Jumlah yang fantastis bukan?

Rasa-rasanya Ramadhan kali ini benar-benar sebuah long-me-time buat saya. Meskipun radang tenggorokan tidak mau absen, tapi Ramadhan me-recharge semangat saya...

Rabu, 07 September 2011

I am on my way ...


I am on my way to be a positive thinker.

I am on my way to be a loyal Muslim.

I am on my way to be a smart worker.

Kamis, 25 Agustus 2011

If I could be reborn...

If I could be reborn, I would not ask to be delivered as someone else. I would be so thankful if I could be reborn as myself. I won’t choose any other way of life as well, but I will have some correction here and there.

I would learn how to blow a saxophone.

I would learn how to play gamelan instead of traditional dance. I have no progress on it. Years of practice give me nothing in traditional dance, but wasting time.

I would take meditation course earlier.

I would spend more money on books instead of anything else.

In other words, in spite of my zero ability in playing musical instrument (esp. saxophone), I’m proud to be the daughter of my ibu and bapak..

Selasa, 23 Agustus 2011

Novel Merah Merona "2"

Saya mau nulis resensi buku. Kali ini tentang si merah merona novel "2" karya Donny Dhirgantoro.

Apa? Resensi? Kaya masih perlu aja..

Oke, saya ganti. Saya mau nulis tentang si merah merona novel "2" karya Donny Dhirgantoro..


Nggak perlulah saya nulis resensi buku si merah merona “2” ini. Udah tau sendiri penulisnya siapa, bang Donny Dhirgantoro gitu, empunya 5 Cm yang kesaktiannya ngalahin mantranya Voldemort, Dobby, maupun ibu peri. Saya cuma mau nulis kesan saya pada si molek merah merona “2” ini.

Apa? Kesan? Kaya lo sapa aja..

Terserahlah, ini blog saya, bebas dong saya nulis. Suka-suka saya. Terserah apa kata my head bald. Eh, kepala saya nggak botak ding.

Sebagaimana abis baca 5 Cm, abis baca “2” bikin segerrrrrrr lahir batin juga. Kalah deh itu minuman energy drink yang warnanya warna warni kaya krayon, yang iklannya melawan hukum pencegahan global warming karena boros bener airnya. Air segelas, yang keminum cuma berapa sruput, lainyaaa? Muncrat ke mana-mana, mubazir.

Oke, stop maki-maki. Ini bulan Ramadhan, lagi puasa, astaghfirullah....

Back to the topic. Maksudnye seger lahir batin? Jadi gini ya, 5 Cm maupun “2” bikin kita yang (mungkin) udah capek sama jatuh bangun hidup masing-masing, capek ngeluh-ngeluh ini itu, capek mencari kambing hitam (kasian kambing putih nggak ada yang nyari), capek mencaci betapa tidak adilnya dunia ini, dan capek-capek yang hawa-hawanya negatif beneeeerrrr, ilang semua. Yang ada adalah semangat berjuang, enthusiasm to seize the day. Kalo kata Telkom, berasa “the world is in your hand”.

Nggak perlu deh itu bayar mahil-mahil buat ikut training-training pembangkit semangat ato apalah. Cukup beli si merah merona “2”, baca dengan sepenuh hati, pahami benar, dan Anda telah menghemat sekian lembar uang Anda untuk recharge semangat bersama tutor handal.

“2” juga buku yang tepat bagi para “galauers” karena cinta. Nho, baca ceritanya Harry-Harry sama Gusni-Gusni yang pacarannya sehat, nggak mengandung kolesterol, lemak jahat, maupun gula berlebih.

“Mungkin Harry dan Gusni benar, mungkin kesedihan datang bersama cinta, berjalan beriringan sebagai katalis yang saling menguatkan. Atau mungkin kesedihan dan kebahagiaan hanya kilas tipis yang harus ada dalam cinta saling menguatkan di antara rekah keduanya.

Atau mungkin cinta yang benar, cinta selalu datang diantara kebahagiaan dan kesedihan, dan ketika kamu mencintai, kamu merasa kuat. Di antara kesedihanmu ia datang dan menguatkan, di antara kebahagiaanmu ia memberikan.

Manusia layaknya mencintai, menjadi kuat dan berani karena mencinta, menahan segala keluh, dan kesedihan yang datang kepadanya, tanpa berputus asa. ... “

-“2”, page 200

“2” juga bikin kita yang (mungkin) terkikis rasa nasionalismenya pada Indonesia karena carut marut politik kita, mulai dari Nazarudin yang tiba-tiba nongol pake topi pandan dangan jingle Sari Roti sebagai ringtone hp-nya dan kemudian sekarang jadi tiba-tiba amnesia, sampai tiba-tiba jadi surat-suratan sama pak Presiden, tiba-tiba bangga lagi sama Indonesia bahwa masih banyak hal tentang Indonesia yang bisa dibanggakan. Dan bulutankis adalah salah satunya..

"2" juga jadi obat penyakit malas.
"Dengan penuh hormat, Dok, jujur sejak saya tahu semuanya ada cita-cita dalam diri saya, ada kekuatan harapan dalam pikiran saya, kalau saya harus berjuang melawan penyakit saya... saya harus percaya cita-cita saya, harapan saya, impian saya. Kalau tidak, untuk apa saya hidup? Kalau tidak, untuk apa saya pergi nantinya kalau waktu saya tiba?"

-Gusni, novel “2” page 215

Kalau di novel merah “2” kalimat itu diucapkan Gusni untuk menepis keputusasaan Dokter Fuad dan Papanya menghadapi penyakitnya, buat saya kalimat itu pun untuk menepis keputusaasaan menghadapi penyakit saya. Bedanya, kalo “penyakit” Gusni adalah penyakit dalam arti sebenarnya, “penyakit” saya lebih berupa metafora dari rasa malas, kecewa, putus asa, dan aneka rupa hal negatif lain yang manghambat saya dalam mencapai titik akhir perhentian perjalanan kereta cita-cita saya.

Buat yang mau merintis usaha kuliner juga wajib baca novel "2". Kenapa? Karena novel "2" mengandung intisari buku resep usaha restoran paling ajib sepanjang zaman semangka warnanya merah. Disebutin 3 langkah menciptakan restoran bakmi yang melegenda. Apa aja langkah-langkahnya? Silakan baca novelnya.

Daaaaannnnnn novel "2" juga merupakan buku psikologi perkembangan remaja putri usia 17 tahun. Di salah satu chapter pas Gusni mau pergi ke pesta, dijelasin cara-cara dandan dengan kalimat penuh metafora yang bikin berasa lagi makan rujak. Seger! Dan kebeneran, pas baca bagian emaknya Gusni ngajarin 3G dandan, saya emang lagi makan rujak.

In short, novel "2" bener-bener worth to read..

Cara penulis yang menceritakan Papa-Mama dan Gita yang menyembunyikan sesuatu tentang Gusni di bagian awal, bikin yang baca berasa kaya Gusni, nggak dikasih tau sesuatu tentang dirinya. Tapi ini kekuatan novel merah “2” ini, pembaca jadi nggak bisa nolak untuk berhenti baca, bawaannya pengen lanjut mulu. Ada apa sih sebenernya? Kok pake disembunyi-sembunyiin? Kenapa sih?

Dan satu hal yang saya nggak habis pikir, gimana ya mas DD (sok akrab banget deh saya. Tapi bodo, ah! Saya kan emang pernah ketemu mas DD dan mas DD emang raaamaaaahh. Tapi ramahnya nggak lebay kaya pelayan retail resto pizza yang bentar-bentar nanya “Ada yang bisa dibantu lagi, kakak?”. Rasa-rasanya bikin saya pengen jawab “Demen banget sih bantuin saya, kalo gitu ayo ikut ke kost saya, bantuin beres-beres.”) pas nulis “2” ini? Kan mas DD cowok, sedang tokoh utamanya “2” kan cewek dan lagi kadang rada centil-centil gitu. Hmmmm.....

Kamis, 14 Juli 2011

Kuliah untuk IP atau Ilmu?

Pertanyaan yang mendominasi percakapan, terutama antar mahasiswa, pasca masa ujian adalah tentang nilai dan IP.

"Gimana nilainya? Udah keluar semua?"

Keluar dari mane? Dari gua??

"Hei, gimana IPnya?"

IP saya sehat wal'afiat. Dia dikasih makanan bergizi sama ibunya.

"IPnya naik atau turun nih?"

IP saya nggak punya tangga.

"Yang dapet A berapa makul?"

"Makul ini dapet apa?"

Jarangggggg banget yang jawab "Dapet ilmu", pada jawab "dapet A/ B/ C/ dst".

blablabla

Hampir semuanya yang dibahas adalah IP-nilai-IP-nilai-IP-nilai. Jaraaaannnggg banget ada yang tanya,

"Gimana semester kemarin? Yang belum paham benar makul apa?"

"Makul ini udah paham semua? Yang paling favorit chapter apa?"

"Udah dapat makul ini kan? Garis besarnya tentang apa?"

Bukannya sok-sokan atau apa, tapi menurut saya, inti dari kuliah dan belajar bukan besar-kecil angka nilai atau IP, tapi lebih ke banyak-sedikitnya ilmu yang diperoleh. Buat apa dapat nilai bagus tapi nggak benar-benar menguasai materi?

Nilai dan IP memang penting, tapi itu bukan tujuan utama dari belajar dan kuliah. Kalo belajar cuma diukur dari nilai yang diperoleh, lulus kuliah selesai dong belajarnya? Kan abis itu nggak ada yang kasih A, B, atau malah D maupun 66, 90, 100, maupun 0. Padahal manusia hidup nggak bisa gitu. Dalam kitab agama saya, disebutin juga kalo manusia diwajibkan belajar sepanjang hidupnya, istilah kampung saya lifespan development gitu.

Kan kata orang-orang hebat kira-kira begini, "your GPA leads you to job interview, but your leadership and knowledge lead you to prosperous life."

Intinya, IP bagus cuma bawa kita sampai mendapat pekerjaan, tapi ilmu yang kita punyalah yang akan memberikan kehidupan yang sejahtera.

Nggak usah terlalu pusing masalah nilai dan IP, yang perlu dipusingkan adalah seberapa penuh kantong pengetahuan kita. Dapat IP sempurna nggak langsung bikin kita jadi manusia terhebat di semesta kok, sama aja sama dapat IP biasa-biasa aja. Tapi, menguasai berbagai pengetahuanlah yang bikin kita jadi manusia bermanfaat. Karena sebagaimana kata Zafran dalam novel 5 Cm, "sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat sama orang lain".

Tanpa mengesampingkan nilai dan IP, kuliah yang panting dapat ilmunya, IP dan nilai bagus itu adalah bonus.

Senin, 11 Juli 2011

Nggak Pulang-EFH-Dosen Semester 2-IPK

Sebenernya udah ngantuk stadium akhir, tapi dari tadi nggak bisa tidur. Dari pada nggak ada kerjaan, nyampah bolehlah.

It’s been a tiring week, I thought. Weekend nggak bisa pulang karena ada kepanitiaan. Kost sepi karena 3 biji The Nina’s pulang kampung dan sebiji yang lain bilangnya ada KP (Kuliah Praktik) di Karimun Jawa tapi saya yakin ini lebih ke acara refreshing setelah satu semester penuh dia dan teman-temannya benar-benar terhimpit oleh si perkasa Gajah Mada, dan bapak-ibu kost beserta dua prajuritnya jalan-jalan abisin liburan di Kudus. Akhirnya resmilah saya jadi single fighter penunggu kost di weekend kemarin setelah entah ke mana lenyapnya, si mbak-mbak yang bantu-bantu di kost juga menghilang begitu saja.

Setelah dua minggu berkutat dengan EFH, akhirnya Sabtu kemarin EFH kelar juga. Rasanya legaaaa banget itu acara buat anak-anak unyu-unyu beres juga dan alhamdulillah sukses. Apa itu EFH dan bagaimana jalan acaranya, kapan-kapan saya tulis deh, lagi nggak mood. Sekarang saya kasih fotonya dikit aja.


Yang jelas karena EFH saya jadi punya kenalan tukang sate, ibu-ibu muda dengan anak-anaknya yang unyu, kyut, dan imyut, ibu-ibu pemilik katering dan rumah makan, ibu-ibu tempat pesen snack, mas-mas tukang air mineral, dan tukang parkir Toko Merah, toko-toko snack di Jalan Magelang. Gaul banget kan saya?

Seminggu ini saya tidur nggak nyenyak. Apa pasal? Anjing piaraan tetangga sebelah brisik mulu kalo malem. Ini aja dia brisik juga. Tapi nggak apalah, seenggaknya saya ada temen melek.

Dan, besok adalah hari jumpa dengan dosen pembimping akademik dalam rangka nyusun KRS untuk semester 3. Tapi, tapi, tapi, nilai saya belum semuanya keluar. Rasa-rasanya semester 2 ini saya nggak maksimal. Lebih nggak maksimal dari semester 1 kemarin. Nggak berasa banget tau-tau udah ujian dan sekarang setelah libur saya terkorupsi oleh suatu hal, udah waktunya KRS baru. Sekitar dua setengah minggu sebelum ujian kemarin saya sakit, akhirnya saya bolos 1 minggu, sekalinya masuk udah hari terakhir kuliah, terus libur minggu tenang. Yang ada saya kaget, nggak siap. Terbengong-bengonglah saya. Hasilnya sekarang saya nggak heran kalo IP saya turun. Meskipun alhamdullillah turunnya nggak banyak, tapi yang tetap aja angkanya nggak seindah IP perdana saya begitu molek ayu cantik manis memukau *setidaknya* hati saya.

Dan satu hal yang ingin saya tuliskan di sini yang saya lewatkan di akhir semester pertama saya, yaitu nulis tentang kesan saya terhadap lecturer of the smester. versi saya Sebenarnya masih bisa saja saya tulis tentang semester pertama saya, tapi let’s just skip it. Kenapa? Karena itu udah cukup lama lewat. Saya nggak lagi merasakan cokelat, strawbery, selai kacang, keju, maupun mentega, cuma serasa roti tawar aja kalo nulis tentang itu.

Semua yang ada di sini adalah dari menara mercusuar (sudut pandang) saya.

Dan lecturer of the semester saya jatuh pada dosen Pendidikan Pancasila. *prokprokprok*

Saya tidak akan menyebutkan nama asli beliau, saya menyebut beliau Pak ****. Yang khas dari beliau adalah setiap ada mahasiswa yang mengajukan pertanyaan, beliau akan mengatakan, “Oke, ada yang bisa berpendapat?” Trus kalo udah ada yang berpendapat dan dirasa masuk akal, beliau akan berkata. “Saya rasa itu jawaban yang benar.” Lalu beliau akan mengatakan sesuatu sebagai tambahan.
Teman-teman saya bilang Pak **** sebenarnya nggak tau jawabannya, makanya beliau bilang “Ada yang bisa berpendapat?”. Mereka juga bilang kalo Pak **** sebenarnya nggak cukup berkapasitas sebagai dosen. Tapi, terserahlah apa kata mereka. Kalo menurut saya justru cara mengajar Pak **** adalah cara yang cukup bagus. Dari 1-10 ya 8,5-lah. Mungkin beliu penggemarnya Socrates yang mendidik orang lain tanpa membuat orang yang dididiknya merasa digurui. Socrates ngasih pelajaran dengan cara nanya mulu kaya karyawan baru. Lalu setelah anak didiknya kasih jawaban, Socrates baru ngomong yang isinya membenarkan atau menyalahkan atau memperbaiki atau melengkapi atau menekankan poin-poin pentingnya. Samalah sama tugas meng-highlight, men-bold, meng-italic, atau meng-underline di Ms. Word. Atau sebagai editor in chief gitulah.

Tapi apapun dan bagaimanapun keadaan, pembawaan, dan metode ajar seorang dosen, yakinlah beliau bertujuan baik. Kalopun hasilnya nggak baik, nggak seperti yang diharapkan, itu bukan salah dosennya, tapi kitanya. Entah kita yang terlalu menyepelekan, menganggap santai, atau ogah-ogahan. Jadi stop blamming the lecturer for the failure of having stright A! Inti dari kuliah, sekolah, maupun belajar kan bukan di nilai, tapi seberapa banyak ilmu yang diserap. Nilai itu cuma bonus.

Ada satu hal yang agak bikin seret pintu hati saya *halah*. Itu adalah saat ketika salah satu dosen saya tanya "Winda, PIN BB kamu berapa? Nanti saya add, biar gampang kalo saya mau hubungi kamu."

Preketek!

Saya jawab, "Maaf, saya nggak pake BB."

Beliau jawab, "Ah, hari gini kok nggak pake BB."

Preketek!

Pengen banget saya teriak, "Hari gini kok nggak pake IPhone!"

Emang it's a must gitu pake BB for sake of BBM?? Smartphone selain BB banyak! Dan terserah saya dong kalo mau pake selain BB. Dan lagi, kalo emang mau hubungi saya, silakan lewat jalur yang sejalan sama yang saya punya. Saya nggak sebel atau apa, cuma risih aja gitu. Kan gadget apa yang yang kita pake, terserah kita, suka-suka kita.

Udah malem, satpam komplek barusan udah lewat. Jadi cukup sekian dan terima kasih.


Kamis, 30 Juni 2011

Tulis-Tempel-Lihat Hasilnya

Dosen saya bilang, “Jadikan dinding kamarmu sebagai gurumu”.

Maksudnya bukan bikin dinding kamar yang bisa ngomong, jelasin materi kuliah/ sekolah, ngajarin ngerjain soal atau gimana gitu. Tapi sebagai salah satu jabatan seorang pendidik, yaitu motivator.

Bikin tulisan-tulisan reminder, motivasi, target dan cita-cita, dan apa pun yang bermakna di dinding kamar sehingga sering dibaca, minimal diliatlah. Karena orang Jawa bilang “witing tresna jalaran saka kulina”.

Berikut cara-cara singkat nan menyesatkannya :

1. Pilih warna tinta dan kertas yang paling eye catching buat diri sendiri.
Contohnya tulisan dengan warna merah di kertas putih adalah yang paling bikin mata saya jreeenngg!, karenanya saya pilih kertas putih dan spidol merah sebagai teaching tools saya.

2. Tulis kata, frase,kalimat, puisi, maupun karangan apapun yang bermakna buat diri sendiri lalu tempel di dinding kamar.
Kata-katanya nggak harus yang puitis, penuh bahasa berliku-liku, keren, maupun cuma bisa dipahami dengan buka kamus thesaurus, tapi yang penting bermakna buat diri sendiri. Misalanya frase “going extra miles!”. Saya udah sering denger, baca, lihat frase itu, tapi frase itu benar-benar bermakna buat saya baru-baru aja, jadi saya baru tulis dan tempel frase itu baru-baru aja. Pemilihan kata jangan karena memburu keren, tapi karena memburu makna. Contoh lain, saya punya tempelan yang bunyinya “have you saved SOME COINS for your FUTURE?”. Kalimat itu nggak populer maupun dicetuskan oleh tokoh hebat dunia, tapi murni karena renungan jemuran saya. Dan karena kalimat itu benar-benar bermakna buat saya meskipun nggak keren, maka saya tulis dan tempel.

3. Bikin dengan tulisan tangan.
Biarpun tulisan tangan kita tak seindah cakaran ayam, tetap tulis dengan tulisan tangan sendiri. Karena seperti Snitch dalam Quiditch, tulisan-tempel akan lebih efektif dan work the best bila ada fingerprint kita di dalamnya. hasil penelitian Professor Albus Winda McGonagal Presti Dumbledore. Selain itu, dengan mengajak tangan bersusah payah menulis, itu akan lebih membekas di memori sehingga membuatnya lebih efektif. Ini karena kata-kata tersebut mengalami pengulangan berkali-kali, mulai dari pertama kali muncul di otak, perintah tangan buat nulis, perintah mata buat ngeliat pas nulis, perintah mata pas baca hasil akhir, perintah mata buat liat dan baca pas tempel, dan perintah mata buat liat dan baca tiap nengok ke dinding.

4. Selalu tulis kata-kata apapun yang muncul secara spontan di otak macam pop up.
Menurut Profesor Albus Winda McGonagal Presti Dumbledore, hasil pemikiran pop up itu adalah apa yang ada di alam bawah sadar sehingga itu sangat fundamental. Dan jika hal tersebut dimunculkan ke permukaan, hal tersebut akan bekerja sangat efektif dan akan memberi hasil yang menakjubkan, yang bahkan Paul si gurita peramal maupun Proffesor Sybil Trelawney pun nggak bisa meramalkan kekuatan kata-kata "pop up" tersebut. Dan salah satu cara membawanya ke permukaan adalah dengan membuat tulis-tempel itu.

5. Jangan malu sama tulisan apapun yang ditempel di dinding kamar.
Kalopun ada orang lain yang liat dan ngetawain, biarin aja. Toh mereka ketawa nggak pake tenaga kita kan? Mereka ketawa nggak bikin kita laper juga kan? “Terserah lo mau ketawain, tapi awas aja kalo lo ikut-ikut.” “Terserah aja lo ketawa, liat aja ntar kalo kata-kata yang sekedar kumpulan huruf ini bener-bener ada hasilnya”. “Terserah aja lo mau ketawa, tapi ntar kalo udah kejadian, awas aja kalo lo sampe bengong kaget”. “Terserah lo mau ketawa, tapi liat ntar buktinya”.

Sekian short-course kali ini. Meskipun bintang iklan entah siapa namanya mengatakan ini karena dibayar sama tukang susu bubuk, tapi ini benar adanya Trust me, It works!

Sabtu, 04 Juni 2011

Sebuah Pantai di Pekalongan

Sekitar awal Mei 2011 saya ikut bapak-ibu saya ke Pekalongan untuk suatu acara yang saya kurang ngerti juga acara apa. Tapi apapun acaranya, nggak ngaruh juga buat saya, yang penting saya bisa ikut jalan-jalan, itu aja.

Apa yang saya peroleh dari kunjungan ke Pekalongan sebagai sebagai Miss Yangpentingasakngikutaja? Gerah. Yak, selama 2 hari 1 malam di Pekalongan, saya keringetan terus.

Pekalongan hawanya panaaaas, men!

Pasti grafik penjualan deodoran di Pekalongan tinggi deh. Lha kota kok tiada menit tanpa hawa panas. Bahkan subuh pun udah panas, bikin gerah.

Tentang kuliner, di Pekalongan saya sarapan nasi Megono.

Apa itu nasi Megono?

Ada dua jenis nasi Megono yang saya sempat icipi. Yang pertama, nasi Megono adalah nasi putih dengan urap nangka muda. Yang bikin beda dari urap nangka muda yang biasa saya temui di Solo-Jogja adalah di nasi Megono ini sambel kelapanya pake aneka rupa rempah macem kencur, daun sama kulit jeruk purut sama sereh. Dan menurut saya rasanya rada aneh. Berasa makan urap pake Sunlight. Rasanya wangi-wangi pedes bikin mabok gimana gitu. Yang kedua, nasi Megono berupa nasi putih dengan urap ikan tongkol. Jadi ikannya dikukus dulu, trus disuwir-suwir, trus dicampur sama sambel kelapa yang rasanya kaya Sunlight.

Trus gimana wujud nasi Megono?
Maaf, saya lupa foto nasi rasa Sunlight Megono.

Satu hal yang sedikit mengecewakan saya, saya nggak sempet ngicip seafood khas Pantura. Kenapa? Karena selama di Pekalongan, nggak tau kenapa rasa-rasanya pengen makan masakan Padang mulu. Alhasil kita makannya masakan Padang tanpa sedikitpun hasrat mampir ke tempat makan yang nyediain ikan bakar atau apalah yang khas daerah pesisir gitu. Sampai di rumah baru inget kalo kita pas berangkat pengen makan ikan bakar atau apalah yang ada hawa-hawa seafoodnya gitu.

Nggak afdol kalo ke daerah Pantura tapi nggak mampir ke pantai. Jadilah mampir ke salah satu pantai yang maaf saya lupa namanya. Pantainya bagus. Meskipun bukan jenis pantai dengan pasir putih, tapi pantainya cukup bersih. Ombaknya nggak gede, khas Pantura, jadi aman kalo anak-anak kecil mau main-main rada deket ke air. Selanjutnya, let the pictures do the talk...




P.S : wanita berkerudung di foto ini bukan saya.

(1)

(2)
(1) dan (2) adalah foto rawa di tepi pantai. Rawanya kaya sawah gitu, kotak-kotak ada semacam pematang di sekelilingnya. Dan di pematang-pematang itu ditanami pohon bakau.
Sebenernya di antara rawa-rawa dan di sepanjang tepian jalan masuk ke pantai, ada kebun melati. Tapi sama seperti nasi Megono, saya lupa buat jepret-jepret.





Garis di langit itu jejak pesawat/ roket/ entah apa namanya pokonya yang mesin yang bisa terbang gitu. Keliatannya cantik ditengah-tengah awan gitu. Jadi keliatan kaya bulu burung, Tapi sebenarnya rada ngilu juga ngeliatnya. Langit yang cantik apa adanya jadi ternoda, itu polusi. Kaya kulit muka mulus bintang iklan kosmetik, tiba-tiba ada jerawatnya. Tetep cantik, tapi rada ngganjel aja kalo diliat.


Sebenernya pantai ini sepi, nggak terlalu ramai. Kalo di foto ini keliatan ramai, banyak mobil parkir, itu karena saya ke sananya rame-rame, sekitar 20an mobil. Jadi yang bikin keliatan ramai ya rombongan di mana saya ikut sebagai Miss Yangpentingasalngikutaja.


Di tepi pantai banyak pohon cemara. Kalo diliat pohon-pohon cemaranya berderet rapi, sepertinya memang sengaja ditanam, nggak tumbuh dengan sendirinya.



Foto duo bocah nan unyu dan kyut ini adalah bukti kalo ombak di pantai ini nggak ganas. Nggak mungkin dong orang tua bocah-bocah ini biarin anaknya main sedeket itu sama air kalo ombaknya kejam mengancam? Malah menurut saya pantai ini airnya kaya danau, tenang.

Kamis, 02 Juni 2011

Pengalaman Pertama Bolos Kuliah

Saya bolos kuliah selama 4 hari berturut-turut. Apa pasal? Saya sakit.

Sakit apa? Ah, tidak perlu dibicarakan. Saya takut kalo saya sebutkan sakit apa saya gerangan, saya ketahuan jadi orang penyakitan. Kalo ketauan saya penyakitan, saya khawatir fakultas kedokteran jadi kebanjiran mahasiswa karena pada pengen jadi dokter biar bisa ngobatin saya. mau muntah? Silakan.

Bolos selama ini adalah hal yang tabu buat saya. Tiba-tiba saya pasti jadi panas-dingin des-degan, lemes breasa kaya ayam tulang lunak tiap diajakin bolos kuliah. Tapi karena berberapa virus hina yang berkonspirasi menginvasi tubuh saya, akhirnya saya HARUS BOLOS kuliah.

Well, ternyata bolos itu TIDAK selamanaya MENYENANGKAN. Saya emang bukan mahasiswa teladan, tapi telatan, tapi saya tidak mengerti apa pentingnya bolos. Demi apa merelakan diri melewatkan kesempatan main di kampus, jajan donat sama yoghurt di kantin. Demi menuruti rasa malas? Temen-temen saya bilang mereka bolos karena 1. Belum ngerjain tugas, 2. Males. Untuk alasan pertama bisa diterima. Tapi yang kedua???? Oh, Doraemon sohibnya Nobita, bisakah kamu keluarin baling-baling bambu anti males???

Semales-malesnya saya kuliah, saya nggak pernah kepikiran untuk bolos. Bukan karena saya semangat 45 buat cari ilmu, niat jadi mahasiswa teladan, atau apa, tapi karena saya merasa ada lebih banyak hal yang bisa saya lakukan di ruang kuliah daripada di kost. Kalopun males kuliah, ya tetep aja berangkat, seenggaknya bisa berasa jadi artis *gagal* dengan bagi-bagi tanda tangan di daftar presensi, trus abis itu tidur kek, ngisi TTS, buka laptop manfaatin WiFi dari kampus, atau apalah.yang jalas I STRONGLY SUGGEST JANGAN PERNAH BOLOS DENGAN SENGAJA. Jangan menyakiti hati bapak-ibu nun jauh di kampung halaman sana. Meskipun kuliah males-malesan, tapi kalo tetep berangkat, pas bapak/ibu telepon kan bisa kasih jawaban faktual yang setidaknya memberikan secercah kehangatan di hati mereka.

Bapak : lagi ngapain, nak?

Anak : baru selesai kuliah, bapak. ini baru keluar kelas, mau ke kantin jajan donat, lapar.

Bayangkan, betapa cerahnya senyuman bapak ketika mendengar jawaban demikian dari anaknya! Si bapak senang, si anak pun nggak bohong. Yah, meskipun kulianya males-malesan, setidaknya si anak benar-benar MENGHADIRI KULIAH, bukannya main game di kost.

Jumat, 27 Mei 2011

I'm sorry for sweating the small things

Don't sweat the small thing!

Iye, saya ngerti. Tapi maaf, saya rasa sekarang saya sedang GALAU stadium akhir. Jadi, untuk sekarang, saya lupa apa itu sweat-sweet-maupun SWAT.

Manusia tidak boleh terlalu banyak mengeluh, tapi maafkan hamba, Tuhan, keluhan ini sudah di ujung jurang lidah, sudah hampir tergelincir terjun bebas gitu aja, benar-benar tak tertahankan. Sekali lagi maaf ya Tuhan, hamba mohon ijin untuk mengeluh....

Sendirian di kost.

Belum sehat betul.

Napas masih nyeri.

SM*SH masih aja nyenyong-nyenyong di kepala.
*cenat-cenut*

Bau duren pula!

Siapa yang beli duren? Ibunya ibu kost saya! mau marah, ini rumah siapa? Diem aja, kok ya bikin mual.
Argggghhhh!!!!

Sabtu, 21 Mei 2011

I do not quit, I just need to stop for a while


Sometimes, we need to stop for a while from our journey in this universe. Just for a while.

There is still long way to go, but we need to rearrange our plan, review our mind map, recharge our enthusiasm, before we carry it on. Thus we need a short-stop.

We can't just speed up to reach our goal as fast as possible. Successfully reaching our dreams isn't the real success. The real success doesn't rely on whether we can reach our dream or not, it's more about how much value we could absorb during our journey in pursuing our dream. And it takes time. That what a short-stop is needed. The more lessons we could digest, the richer person we could be...

Kamis, 12 Mei 2011

Perspektif

Di semesta ini nggak ada yang salah ataupun benar, semuanya hanya masalah sudut pandang.

Dalam menghadapi suatu situasi, dua orang selalu berpeluang untuk berperspektif beda. Mungkin menurut si A diam lebih baik, namun mungkin menurut B talkative adalah solusi terbaik. Lalu, mana yang benar? Tidak ada yang benar. Karena si A dan B memandang dari kaca mata masing-masing yang berbeda. Tidak sama. Dan perspektif tidak bisa dipaksa untuk sama karena itu dipengaruhi oleh apa yang ada di memori otak, apa yang terekam di otak, emosi apa yang dirasakan.

Jadi, jangan terlalu ngoyo dalam berpendapat. Itu tidak baik, tidak sehat.

Selasa, 10 Mei 2011

Apa yang Kulakukan???

Besok ada ujian tapi ini bukannya belajar, saya malah blogwalking, buka-buka trending topic Twitter, dan nggak menyentuh buku sama sekali. Betapa mengerikan perilaku mahasiswa zaman sekarang. ckckckck

Ibunda, maafin anakmu ini. Tapi apa mau dikata, benar-benar sedang tidak mood belajar. Dipaksa-paksa juga nggak bisa, mentoktoktoktok.

Lagian si bapak dosen saya ini kemana aja nggak tau deh saya. Angin muson UAS udah mulai bertiup gini baru kasih UTS. Bapk dosen, oh bapak dosen, saya tahu Anda hanya berusaha mencari nafkah tambahan diluar kampus unyu saya demi sesuap nasi dan segenggam berlian untuk anak-istri bapak, tapi ya jangan meng-alay-kan UTS gini. Ini udah minggu keberapa, UTS baru diadain.

Stop jadi manusia extrovert, ayo liat kedalam diri sendiri. Sepertinya saya mengeluh-menggalaukan diri seperti ini emang karena saya kenyang duluan liat materinya. Apalah itu gunanya ngapalin macem-macem teori perkembangan yang foto tokoh-tokohnya aja masih pada item-putih kalo ntar nggak bisa nerapin. Ane kagang ngerti soal begonoan! Ya Allaaaaaah, hamba harus gimana???

Kenapa Psikologi Perkembangan harus sedemikan complicated, Ya Allah?? Kenapa??

Saya hanya berharap semoga ujian besok open-book. Biarpun ujian open-book selalu diikuti dengan ketiadaan jawaban di buku, seenggaknya besok pas ujian ada kerjaan bolak-balik buku, ngremas-ngremas buku, ataupun nyobek-nyobek buku, daripada cuma diem, bengong, kaya sapai ompong. Eh, emang sapi ompong bengong?


jadi pengen berenang kaya ikan

Senin, 09 Mei 2011

Perubahan

Kemasan Frozz ganti. Nggak secara keseluruhan sih, cuma desain stikernya. Tapi tetep aja ganti, jadi beda...


Menurut saya, bagusan yang desain lama. Lebih minimalis, lebih "ngena" aja.

Emang nggak semua perubahan selalu lebih baik. Kadang stagnasi adalah yang terbaik.

Rabu, 27 April 2011

Buku di Kereta Commuter

Hal yang perlu dicatat tiap mau naik kereta commuter macam Pramex (Prambanan Express) adalah bawa buku bagus.

Kenapa?

Pertama, dibaca biar nggak ngelamun atau bengong aja. 1 jam di kereta bisa bikin mati gaya. Yang ada pikiran nglantur ke mana-mana. In case, naik keretanya sendirian lho ya... kalo bawa buku kan asik. Jadi ada kegiatan, bikin pinter pula.

Kedua, buat kipas-kipas. Untuk yang satu ini, bukunya nggak bisa sembarangan. Nggak mungkin dong bawa buku macam novelnya Harry Potter yang setebel bantalan rel kereta itu trus buat kipas-kipas? Yang ada gempor tuh tangan. Kadang (dan sering) jendela kereta nggak bisa diajak kerja sama, sering macet atau bahkan nggak ada grendelnya, jadi nggak bisa dibuka deh. Kalo udah kaya gitu, yang ada hawa panas macam sauna di gerbong kreta. Buku yang tepat bisa jadi unsung hero di saat seperti itu. Selain bikin pinter, buku bisa jadi penyejuk, jadi kipas gitu maksudnye.

Ketiga, bisa jadi awal topik pembicaraan sama yang duduk disebelah. Beberapa kali saya jadi ngobrol sama ibu-ibu (saya selalu duduk deket ibu-ibu) di sebelah saya karena buku yang saya baca. Kadang si ibu sekedar tanya bukunya tentang apa, ceritanya gimana, pengarangnya siapa, kenapa suka. Tapi pernah juga si ibu malah komentar panjang tentang ketidakmengertiannya kenapa buku yang saya baca dianggap bagus dan menarik oleh banyak orang. Si ibu juga cerita kalo dia jadi sebel karena anaknya juga suka baca buku tersebut. Pokoknya buku bisa jadi ajang silaturahmi.

Keempat, buku bisa jadi tempat nyimpen karcis. Daripada bingung mau taruh di mana si kertas mungil karcis kereta, buku bisa jadi alternatif tempat penyimpanan. Sisipin aja di antara lembaran halaman buku. Jadi kalo pas pemeriksaan karcis, tinggal buka buku. Nggak perlu bingung nyari-nyari dulu. Dan hasilnya, hampir di setiap buku saya selalu ada karcis kreta. Dan lagi, karcis-karcis itu bisa dijadikan pembatas buku lho...

Kelima, bisa dijadiin tutup muka. Kadang, rasa kantuk datang menyergap tanpa permisi dan tak bisa dicegah. Disinilah buku memainkan perannya. Buku bisa dijadikan tutuup muka. Orang tidur nggak sadar penampilan. Bisa jadi pas tidur mulut kita terbuka, jadi mangap gitu. kan nggak enak banget ya ngeliat orang tidur yang mangap gitu. Untuk menghindari menjadi sumber pemandangan tidak sedap sekaligus antisipasi kalo-kalo pas tidur kita mangap, bisa kita tutup deh muka kita pake buku.

Senin, 28 Maret 2011

Earth Hour 2011

Saya ikut berpartisipasi dalam Earth Hour 2011 ini. No lamps at all! Yeah!

Meskipun kalo diitung, partisipasi saya cuma seucrit, tapi rasanya senang, bangga, haru gimana gitu. Pokoknya mejikuhibiniu deh udah ikut memperpanjang umur bumi (walau cuma beberapa detik). Tapi sayang, rasa nan unyu itu harus sedikit ternoda ketika saya tau keadaan rumah tetangga saya. Dari sekian tetangga saya, cuma satu tetangga saya yang kooperatif, bahkan salah satu tetangga sebelah rumah saya pas sangat menjengkelkan. When people around the world try to lengthen the earth’s life expectancy, he turn on his air conditioner and lamps. Kok saya tau dia nyalain AC? Jelas saya tau, kipas AC-nya deket kamar saya dan suaranya kedengaran. Bikin gregetan pengen teriak, “Woy! Matiin noh lampu-lampu sama AC. Earth Hour nih! Earth Hour! Jangan masa bodoh gitu, partisipasi panjangin umur bumi dong. Kalo bumi come to the end, ente mau tinggal di mane coba?!”. Tapi yah, apa mau dikata? Beda kepala beda otak. Anak sama bapak yang satu rumah aja bisa beda pikiran, apalagi yang satu RT.

Oke, abaikan noda pada euforia Earth Hour. Terserah apa yang terjadi di bawah atap tetangga, nggak perlu dipikirkan. Alhamdulillah di rumah saya Earth Hour tidak ternoda. Bapak saya bahkan sampai menunda nge-charge hp sampai lewat jam 10 malam. Ibu saya pun nunda masak nasi demi Earth Hour, meskipun percakapan ini harus terjadi.

Bapak : semua lampu dimatikan kan? Tapi nge-charge hp gpp kan?
Kepompong : hmmm...
Bapak : yayaya. Harus nunggu. Yayaya *ngalungin charger hp, matiin hp*
Ibu : lha masak nasi?
Kepompong : he?
Ibu : harus nunggu kan? Yayayaya

Berasa jadi bos satu jam deh.

Dan alhamdulillah juga saya nggak piara ikan maupun sedang dalam usaha menetaskan telur ayam, penyu, maupun T-Rex, jadi lampu-lampu di rumah saya bener-bener mati total. Untuk ini, saya berterima kasih pada NGC karena selama 30 menit (jam 19.30-20.00) sebelumnya bikin serangan fajar berupa sosialisasi Earth Hour 2011. Bapak sama ibu saya jadi bener-bener yakin, no doubt, kalo meskipun cuma satu rumah yang matiin lampu, itu juga udah nyumbang beberapa detik buat memperpanjang umur bumi nan baik dan nggak sombong ini.
Berbagai hitung-hitungan tentang berapa banyak penghematan energi selama Earth Hour kasih liat jumlah yang fantastis. Saya jadi mikir, kenapa pemerintah seluruh dunia nggak kompakan bikin Earth Hour jadi “it’s a must thing” aja? Caranya dengan kompakan matiin power supply selama Earth Hour, kecuali buat penerangan jalan, sistem komputerisasi, dan hal-hal krusial lain. Yang di stop supply listriknya yang ke arah permukiman penduduk aja. Kan kalo kaya gitu Earth Hour yang cuma satu jam setahun itu jadi efektif banget dan angka-angka hasil berbagai penghitungan penghematan energi jadi semakin fantastis dan wow. Hasilnya Bumi jadi lebih lama masa eksistensinya...

Temuan selama satu jam dalam kegelapan :

1. Kompor gas bisa dijadikan lampu di dapur.
2. Buat yang rumahnya ngadep ke gunung, ketika rumah dalam kondisi gelap gulita, keluar rumah dan liat ke arah gunung deh. Pasti jadi bersyukur banget punya mata, jadi bisa liat pemandangan nan mempesona, titik-titik cahaya warna-warni lampu di gunung. Kelap-kelip gitu. Duit satu karung, berlian satu keranjang, mutiara segede batu kali pasti kalah mempesona dah!
3. Yang ini dari bapak saya, no lamps at all bikin meditasi tambah khusyuk. Katanya berasa lebih adem, tenang gitu.
4. Tidur jadi lebih nyenyak (kata sepupu saya).
5. Jadi bisa lebih menghayati pas denger themesong Tropicana Slim yang judulnya Remember, apalagi kalo sambil minum susu cokelat anget.

Rabu, 23 Maret 2011

Word Travels, I'm in Love

When we were ten, they asked again and we answered - rock star, cowboy, or in my case, gold medalist. But now that we've grown up, they want a serious answer. Well, how 'bout this: who the hell knows?!

-Jessica Stanley, Eclipse movie
Well, I think hell did a whisper to me. I know what I wanna do later on. I wanna do something like what Robin Esrock and Julia Dimon do on World Travels, being travel writers. Although the salary is not that great, but isn’t it great being able to do what you like? Go around the world, breath different air, see different sceneries, and the greatest thing is write down everything you fell and change other’s perception based on yours! Great, isn’t it?

Everybody want to change the world into better living place, right? Even Obama do.

Change the world! Change the world! Change the world!

And being a travel writer is one of the way to change the world into better living place. How come? Okay, let’s think it over. By traveling around the world, we can explore every single puzzle around. We can go to the isolated places, places which never come to one’s mind as tourist destination, then find out what are interesting about the places, then write them down. People who read our writing will think over about the places and soon, they will be courious and find out the places by themselves. An isolated place suddenly become a well-known place. The other thing is we can go to a controversial place, a place which is famous because of its negative side or its exclusiveness. Jordan for example. Jordan is well-known as Moslem country. People’s perception about Jordan is about a country where everybody, includeed its teenagers, lives based on Moslem regulation, the women wear their veils everywhere, no entertainment, and so on. We can go there, then try to blend with its people to find out how they live actually. After that, we write down what we found. It will give new information to the world. That Jordan isn’t only about Moslem. It’s people has varieties of entertainment as well, but a bit different from what Western has. There are unveiled women as well. It simply gives someone else a new information.

Okay, I think it’s enough for the English part.

Jadi, intinya, saya pengen nglakuin apa yang Esrock dan Dimon lakukan di Word Travels. Jalan-jalan ngider ke mana-mana, nyobain ini itu, belajar ini itu, trus bikin catatan-catatan kecil di note, trus lanjut bikin laporan perjalanan on the fly home. Lalu e-mail tulisan itu ke majalah/koran/media cetak lain. Tulisan dicetak. Dibaca orang. Kita jadi ikut mempromosikan suatu tempat ke mata dunia. Asik banget kan?

Akan lebih asik lagi kalo selain menjadi travel writer, juga menjadi seorang “jumper”. Pernah liat film judulnya Jumper? Nha “jumper” yang saya maksud sama seperti jumper judul film itu. Jadi, bisa lakukan apa yang disukai sekaligus kerja, tapi dengan cara yang hemat. Nggak perlu bayar biaya perjalanan, kan bisa langsung “loncat” ke tempat yang dituju. Nggak perlu bayar sewa penginapan juga, kan bisa “loncat” PP. Hemat kan?

Okay, back to reality. Skip bagian “loncat-loncat”.

Karena Word Travels juga saya jadi pengen ber-VAIO ria. Bukannya saya nggak bersyukur atas leppy saya nan unyu ini, tapi karena liat Esrock sama Dimone bertempur bersama VAIO merahnya saya jadi jatuh cinta sama VAIO. Kesannya bandel, tahan gempa dan tsunami gitu. Sebenernya nggak cuma jatuh cinta sama VAIO sih, tapi sama kameranya juga. Tapi untuk satu ini, alhamdulillah saya udah punya, jadi saya nggak sejatuh bangun seperti ke si VAIO.

Kesimpulannya, demi satu kontainer Beng-Beng, saya pengen jadi travel writer. Akhirnya saya punya cita-cita yang logis di masa-masa persiapan masa depan nan krusial ini.

Selasa, 15 Maret 2011

Bakwan Kawi

Jam makan siang, perut keroncongan, ya ke kantin aja...

Di kantin rame, mau pesen antri, nunggu lama, ya sabar aja. Namanya juga idup...

Di tas ada laptop, di kantin ada WiFi, ya online aja...

Online, liat tukang Bakwan Kawi, ya tulis di blog aja...

Banyak penjual Bakwan Kawi di sekitar kampus saya, di sekitar Jogja. Sebenarnya apa Bakwan Kawi itu? Entahlah. Meskipun sudah beberapa kali makan, saya tetap have no idea what Bakwan Kawi is actually.

Setiap dengar kata “bakwan”, pasti yang terbayang adalah bakwan jagung, bakwan udang, dan bakwan-bakwan lain yang bentuknya seperti layak dan normalnya gorengan. Tapi Bakwan Kawi ini nggak ada mirip-miripnya dengan bakwan jagung maupun bakwan udang. Bahkan saya yakin adonannya pun berbeda, tanpa sayur seperti layaknya bakwan.

Menurut saya, Bakwan Kawi adalah makanan dengan status labil akut. Namanya bakwan, tapi penyajiannya mirip Bakso Malang. Dimakan dengan kuah kaldu yang nggak berasa kaldunya, cuma sekedar asin dan bening, isinya mirip pangsit basah di Bakso Malang dengan dua macam, sekedar dikukus atau digoreng, tapi dengan adonan yang nggak ada mirip-miripnya dengan pangsit, bakwan, maupun bakso. Lha trus kaya apa dong? Kalo saya bilang, lebih mirip somay jadi-jadian karena terbuat dari kulit pangsit yang diisi adonan tepung kanji (?).

Bakwan Kawi juga, menurut saya, makanan dengan zero nutrition, kecuali karbohidrat. Tapi saya juga kurang yakin apakah karbohidrat yang terkandung dalam kulit pangsit dan tepung kanji itu mencukupi standar gizi dan memenuhi syarat sebagai karbohidrat sehat. Kenapa? Karena Bakwan Kawi nggak mengandung sayur sama sekali. Nggak mengandung serat sama sekali. Cuma kuah, potongan entah-somay-pangsit-jadijadian-atau-apapun-itu, bawang goreng, bahkan potongan seledri pun hanya disajikan oleh segelintir penjual Bakwan Kawi. Cuma satu hal yang dapat dipastikan dari Bakwan Kawi, bikin kenyang. Cuma kenyang aja.

Saya nggak pernah bisa menikmati makan Bakwan Kawi. Bakwan Kawi adalah makanan darurat saya ditengah jadwal kuliah yang membabi buta dan tidak ada waktu jeda yang memadai untuk ngesot ke warung makan. Saya memang harus berterima kasih pada Bakwan Kawi kaarena begitu mudah ditemui di sekitar kampus, tapi saya tetap merasa sulit menelannya. Rasanya kacau tiap makan Bakwan Kawi. Tiap sendok selalu memunculkan pertanyaan, “makanan apa ini sebenarnya?”. Tapi apa mau dikata, cacing di perut sudah riuh ngamen, jadwal kuliah memburu, jadilah Bakwan Kawi pahlawan saya.

Jujur, saya makan Bakwan Kawi di tengah himpitan jadwal kuliah hanya sebagai tindakan pencegahan agar sistem pencernaan saya punya sesuatu untuk dicerna, alih-alih mencerna dinding lambung saya yang memang sudah mengucap ikrar setia dengan maagh.

Tapi lepas dari segala keheranan saya tentang Bakwan kawi, ada juga teman saya yang hobi makan Bakwan Kawi. Tiap waktu makan di kampus, dia lebih sering pilih makan Bakwan Kawi dari pada aneka rupa makanan lain. Entah kenapa dia bisa suka. Saya sendiri selalu bertanya-tanya, “apa sih enaknya?”.