Kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin-kemarin, tetangga kamar saya tanya, apa cita-cita terbesar saya.
X : apa cita-cita terbesar kamu?
Saya : bagaimana supaya saya bisa selalu berpikir positif.
X : lha kok gitu?
Saya : lha kalo kita bisa berpikir positif setiap saat, hal-hal yang terjadi pada kita pasti positif juga, hal-hal positif akan selalu mengikuti kita. Semacam resonansi gitulah.
X : oh, yayayaya! Tapi, maksudku cita-cita kamu apa? Contohnya aku, aku kan pengen jadi dokter hewan gitu. lha kamu apa?
Saya : apa ya?
Ditanya apa cita-cita saya, saya pun bingung. Dulu waktu kecil, saya selalu, meskipun beruba-ubah, punya jawaban pasti untuk cita-cita saya.
Dulu saya bercita-cita jadi diplomat karena mbah kakung saya dari ibu (biasa saya panggil mbah Awan) sering cerita pengalamannya bersama Pak Ali Alatas, apa yang mereka obrolkan, komentar-komentar Pak Ali tentang keadaan politik maupun ekonomi dunia, terutama Amerika, pada masa itu.
Lalu saya bercita-cita jadi dokter anak karena saya ingin menjadi seperti Dokter Sulatin yang merawat saya bertahun-tahun. Dulu saya punya gejala bronkitis, karenanya saya harus berobat intensif. Seminggu sekali saya harus ke dokter dan dokter itu Pak Sulatin. Orangnya ramah, lembut, baik, santun, tahu bagaimana berkomunikasi dengan anak sehingga kewajiban minum obat bukan masalah bagi saya karena instruksi beliau yang begitu entahlah, saya tidak tahu kata apa untuk menyebutnya. Setiap saya harus dirawat di rumah sakit, saat waktunya doctor visit, beliau selalu membawakan hadiah kecil dan mengajak ngobrol saya, nggak cuma periksa kondisi lalu lapor pada orang tua. Karena kebaikan beliau, saya pengen jadi dokter anak. Tapi sayang, belum lagi saya tahu bagaimana mengucapkan terima kasih atas perawatan yang beliau berikan, Pak Sulatin sudah meninggal. Beliau meninggal saat saya juga dirawat di rumah sakit yang sama. Di hari terakhir saya di rawat di rumah sakit itu, beliau meinggal. Tapi, meski demikian, sampai sekarang saya masih ingat betul bagaimana wajah dan perawakan beliau. Setiap lewat depan rumahnya pun saya nggak melewatkan untuk menengok sekedar nostalgia dengan pemandangan yang dulu setiap minggu, selama bertahun-tahun, saya lihat.
Kira-kira kelas 4 SD, setelah Pak Sulatin meninggal, saya kembali bercita-cita menjadi diplomat. Masih karena alasan yang sama, tapi ditambah dengan keinginan saya untuk jalan-jalan ke luar negeri secara gratis segaligus digaji oleh negara.
Lalu saat di SMP cita-cita saya berganti menjadi dokter gigi. Ini karena Dokter Irawan. Beliau dokter gigi saya. Setiap sekian bulan, saya periksa gigi ke Dokter Irawan, dan karena perawakan beliau yang mirip dengan Pak Sulatin, saya pun ingin jadi dokter gigi. Konyol. Kok sepertinya saya sangat imitatif ya?
Lalu ketika SMA, saya mulai bingung apa sebenarnya cita-cita saya. Saya tidak ingin menjadi dokter apapun lagi karena menurut saya resikonya besar, berurusan dengan nyawa orang lain. Saya juga ragu-ragu tentang cita-cita saya menjadi diplomat karena saya mulai paham betapa chaos-nya dunia politik dan hubungan internasional itu.
Tapi akhirnya saya punya jawaban untuk pertanyaan housmate saya, saya ingin menjadi smart mom. Saya ingin menjadi seorang yang berilmu sehingga nantinya saya bisa menjalankan kodrat saya sebagai wanita, menjadi seorang ibu, yang smart. Bisa menjawab semua pertanyaan anak saya dengan tepat. Tentang profesi, saya ingin memilik profesi tepat untuk saya, apapun itu profesinya, entah guru, diplomat, dokter (oh, tidak mungkin. Saya tidak kuliah di FK. Hha), wiraswasta, artis, penyanyi (bisa nyanyi gitu? bersin aja fals.
X : apa cita-cita terbesar kamu?
Saya : bagaimana supaya saya bisa selalu berpikir positif.
X : lha kok gitu?
Saya : lha kalo kita bisa berpikir positif setiap saat, hal-hal yang terjadi pada kita pasti positif juga, hal-hal positif akan selalu mengikuti kita. Semacam resonansi gitulah.
X : oh, yayayaya! Tapi, maksudku cita-cita kamu apa? Contohnya aku, aku kan pengen jadi dokter hewan gitu. lha kamu apa?
Saya : apa ya?
Ditanya apa cita-cita saya, saya pun bingung. Dulu waktu kecil, saya selalu, meskipun beruba-ubah, punya jawaban pasti untuk cita-cita saya.
Dulu saya bercita-cita jadi diplomat karena mbah kakung saya dari ibu (biasa saya panggil mbah Awan) sering cerita pengalamannya bersama Pak Ali Alatas, apa yang mereka obrolkan, komentar-komentar Pak Ali tentang keadaan politik maupun ekonomi dunia, terutama Amerika, pada masa itu.
Lalu saya bercita-cita jadi dokter anak karena saya ingin menjadi seperti Dokter Sulatin yang merawat saya bertahun-tahun. Dulu saya punya gejala bronkitis, karenanya saya harus berobat intensif. Seminggu sekali saya harus ke dokter dan dokter itu Pak Sulatin. Orangnya ramah, lembut, baik, santun, tahu bagaimana berkomunikasi dengan anak sehingga kewajiban minum obat bukan masalah bagi saya karena instruksi beliau yang begitu entahlah, saya tidak tahu kata apa untuk menyebutnya. Setiap saya harus dirawat di rumah sakit, saat waktunya doctor visit, beliau selalu membawakan hadiah kecil dan mengajak ngobrol saya, nggak cuma periksa kondisi lalu lapor pada orang tua. Karena kebaikan beliau, saya pengen jadi dokter anak. Tapi sayang, belum lagi saya tahu bagaimana mengucapkan terima kasih atas perawatan yang beliau berikan, Pak Sulatin sudah meninggal. Beliau meninggal saat saya juga dirawat di rumah sakit yang sama. Di hari terakhir saya di rawat di rumah sakit itu, beliau meinggal. Tapi, meski demikian, sampai sekarang saya masih ingat betul bagaimana wajah dan perawakan beliau. Setiap lewat depan rumahnya pun saya nggak melewatkan untuk menengok sekedar nostalgia dengan pemandangan yang dulu setiap minggu, selama bertahun-tahun, saya lihat.
Kira-kira kelas 4 SD, setelah Pak Sulatin meninggal, saya kembali bercita-cita menjadi diplomat. Masih karena alasan yang sama, tapi ditambah dengan keinginan saya untuk jalan-jalan ke luar negeri secara gratis segaligus digaji oleh negara.
Lalu saat di SMP cita-cita saya berganti menjadi dokter gigi. Ini karena Dokter Irawan. Beliau dokter gigi saya. Setiap sekian bulan, saya periksa gigi ke Dokter Irawan, dan karena perawakan beliau yang mirip dengan Pak Sulatin, saya pun ingin jadi dokter gigi. Konyol. Kok sepertinya saya sangat imitatif ya?
Lalu ketika SMA, saya mulai bingung apa sebenarnya cita-cita saya. Saya tidak ingin menjadi dokter apapun lagi karena menurut saya resikonya besar, berurusan dengan nyawa orang lain. Saya juga ragu-ragu tentang cita-cita saya menjadi diplomat karena saya mulai paham betapa chaos-nya dunia politik dan hubungan internasional itu.
Tapi akhirnya saya punya jawaban untuk pertanyaan housmate saya, saya ingin menjadi smart mom. Saya ingin menjadi seorang yang berilmu sehingga nantinya saya bisa menjalankan kodrat saya sebagai wanita, menjadi seorang ibu, yang smart. Bisa menjawab semua pertanyaan anak saya dengan tepat. Tentang profesi, saya ingin memilik profesi tepat untuk saya, apapun itu profesinya, entah guru, diplomat, dokter (oh, tidak mungkin. Saya tidak kuliah di FK. Hha), wiraswasta, artis, penyanyi (bisa nyanyi gitu? bersin aja fals.
), atau apa sajalah yang penting masih dalam koridor halal dan tayibah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar