And She fights for her life as she puts on her coat. And she fights for her life on the train. She looks at the rain as it pours. And she fights for her life as she goes in a store with a thought she has caught by a thread. She pays for the bread and She goes... Nobody knows...
(Anggap saja saya lagi nyanyi lagu yang video klipnya menurutsaya paling keren sedunia akhirat.
Apa judul lagunya? Silakan cari tau di tempat mencari Tuhan [Google])
Kamis malam, minggu kemarin saya nonton Provokatif Proactive yang temanya tepatnya apa saya lupa, tapi intinya nyangkut-nyangkut kerusuhan-kerusuhan di Indonesia gitulah. Oya, sekarang saya jadi sering nonton PP gara-gara ibu saya yang seneng nonton Raditya Dika meracuni saya untuk nonton PP juga. Empat orang sebagai sampel masyarakat Indonesia yang ada di PP punya pendapat lain-lain tentang apa sebenarnya sebab aneka rupa kerusuhan di Indonesia. Ronald sebagai delegasi rakyat kelas bawah berpendapat bahwa itu karena masyarakat Indonesia aja yang emang suka kekerasan. Raditya Dika sebagai delegasi mahasiswa-nggak-lulus-lulus berpendapat kalo itu karena kecemburuan kaum minoritas sama kaum mayoritas. Joshie sebagai delegasi orang-orang berduit berpendapat kalo itu semua sebenarnya dalangnya satu, ada semacam konspirasi gitu. Panji sang delegasi orang seven-to-five (orang kantoran maksudnye) berpendapat kalo itu semua adalah bentuk pengalihan perhatian dari kasus yang lagi hot sebelumnya.
Tapi kalo dilihat-lihat, sebenernya kerusuhan-kerusuhan itu justru disebabkan oleh gabungan keempat hal yang disampaikan para delegasi-delegasi itu. Aneka rupa kerusuhan itu terjadi karena masyarakat yang gampang panas dikompori oleh isu-isu yang erat kaitannya dengan SARA dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mengalihkan perhatian publik dari kasus yang melibatkannya dengan cara menyebabkan perselisihan yang melibatkan kaum minoritas dan mayoritas. Nah, bingung kan?
Sudahlah, nggak usah habisin energi untuk kerusuhan kerusuhan itu. Ada hal lain yang lebih mendesak untuk dipikirkan, PEMERINTAH MELARANG PEREDARAN FILM-FILM LUAR NEGERI DI BIOSKOP-BIOSKOP TANAH AIR! Oh, no! Oh, tidaaaaakkkkk!
Kalo sampe itu terjadi, saya akan menggantung jemuran saya sendiri, berpuasa jam 9malam-4pagi selama hidup saya, beli panci buat The Nina’s kalo saya dapat beasiswa PPA.
Mau nonton apa coba kalo film Holywood, Mandarin, daratan Eropa, maupun Bolywood dilarang gentayangan di bioskop-bioskop tanah air?? Bukannya film-film tanah air itu nggak berkualitas, tapi kalo tiap ke bioskop isinya Cuma film-film dalam negeri kan ya nggak variatif gitu, itu-itu mulu gitu. Apalagi film-film lokal tuh hobinya kompakan, kalo satu bikin film horor, semua bikin film horor, kalo satu bikin fim cinta-cintaan, semua bikin film cinta-cintaan. Makin nggak variatif lagi deh. Lagian film lokal tuh yang main itu-itu mulu. Hantu Indonesia mana yang belum main film coba? Semua jenis hantu-hantuan Indonesia udah main film. Kan kasian yang nggak suka nonton film hantu-hantuan Indonesia gitu.
Sebaiknya pemerintah mengkaji lagi, lagi, dan lagi deh sebelum benar-benar memutuskan peraturan itu. Inti dari masalah ini pajak, kan? Jadi nggak usah sampai dilarang gitu, cukup diperbaiki aja sistem pajak dan peredarannya. Diatur ulang gitu, nggak usah dilarang sama sekali. Ruginya banyak lho kalo sampe kejadian dilarang gitu. Sayang kan kalo negara harus merugi lagi, lagi, dan lagi?
Oya, cuit-cuit Kepompong iniwalaupun cuma sepetak dapet kesempatan eksis di Abstractive Sense
Makasih ya Mas Dikaaaa....
Apa judul lagunya? Silakan cari tau di tempat mencari Tuhan [Google])
Minggu kemarin adalah minggu pertama semester kedua saya di bangku kuliah. How was my week? Campur aduk.
Sebuah alhamdulillah saya persembahkan untuk weekend saya kemarin karena saya bisa melewatkan weekend di rumah. Jadi, Sabtu kemarin saya dilanda krisis keuangan. Uang saya Cuma tinggal Rp 10.000, kartu penyelamat (ATM) saya ketinggalan di rumah, sedangkan untuk bisa pulang ke rumah saya butuh Rp 15.000. Tiket Pramexs Rp 9.000, ongkos 2x naik bus Rp 6.000. Akhirnya saya tulis surat ke bapak saya “Bapak, nanti aku pulang naik Pramexs jm 3, smp Solo jm 4. Aku nggk jadi naik angkot, uangku tinggal 10rb, nggk cukup buat ngangkot.” Tragis nian nasib saya.
Selebihnya perjalanan saya di minggu kemarin lancar, meskipun nggak selancar jalan tol, tapi setidaknya nggak semacet Jalan Kaliurang di sore hari dan jalan-jalan di Jakarta.
Sedikit tentang macet. Sekarang si Komo ngider di mana-mana ya? Nggak di Jakarta, nggak di Jogja, nggak di Solo, bahkan di Karanganyar kota kecil nyempil aja macet. Rasanya hidup itu habis di jalan. Gimana nggak gitu coba kalo misal waktu yang sehari 24 jam itu kita habiskan untuk naik sepeda onthel, sepeda motor, mobil, angkot, becak, oplet, bajai, dokar, andong, gerobak, skuter Poo si Teletubies merah, kereta, dsb, 2 jam aja trus dikalkulasikan. Seminggu udah 14 jam. Sebulan udah 56 jam. Setahun udah 672 jam = 28 hari = 1 Februari What a wow! Kalo misal kita hidup sampai umur 60 tahun, berarti kita habisin 50 Februari di jalan yang sama artinya dengan 4 tahun 2 bulan di jalanan (anggap umur 0-10 tahun kita belum cukup aktif berkeliaran ke mana-mana). What a big wow!
Saya emang nggak hidup di Jakarta yang macetnya begitu nista, saya hidup di Jogja-Solo-Karanganyar, tapi itu sudah cukup membuat saya kenyang dengan macet. Tiap pulang kuliah sore, Jakal begitu mengerikan macam orang antri duit 10ribu di klenteng pas tahun baru Cina, crowded banggeetzzz. Sudah dapat dipastikan, pada jam-jam hot-hotnya pulang kantor-sekolah-kuliah (jam 4-6 sore), saya harus rela terjebak di perempatan MM untuk minimal 4x lampu merah. Sungguh manyedihkan. Jarak yang nggak seberapa harus ditempuh ibarat semut jalan di penggaris dari angka 0 cm sampai 1001 cm. Mengenaskan.
*****Sebuah alhamdulillah saya persembahkan untuk weekend saya kemarin karena saya bisa melewatkan weekend di rumah. Jadi, Sabtu kemarin saya dilanda krisis keuangan. Uang saya Cuma tinggal Rp 10.000, kartu penyelamat (ATM) saya ketinggalan di rumah, sedangkan untuk bisa pulang ke rumah saya butuh Rp 15.000. Tiket Pramexs Rp 9.000, ongkos 2x naik bus Rp 6.000. Akhirnya saya tulis surat ke bapak saya “Bapak, nanti aku pulang naik Pramexs jm 3, smp Solo jm 4. Aku nggk jadi naik angkot, uangku tinggal 10rb, nggk cukup buat ngangkot.” Tragis nian nasib saya.
Selebihnya perjalanan saya di minggu kemarin lancar, meskipun nggak selancar jalan tol, tapi setidaknya nggak semacet Jalan Kaliurang di sore hari dan jalan-jalan di Jakarta.
Sedikit tentang macet. Sekarang si Komo ngider di mana-mana ya? Nggak di Jakarta, nggak di Jogja, nggak di Solo, bahkan di Karanganyar kota kecil nyempil aja macet. Rasanya hidup itu habis di jalan. Gimana nggak gitu coba kalo misal waktu yang sehari 24 jam itu kita habiskan untuk naik sepeda onthel, sepeda motor, mobil, angkot, becak, oplet, bajai, dokar, andong, gerobak, skuter Poo si Teletubies merah, kereta, dsb, 2 jam aja trus dikalkulasikan. Seminggu udah 14 jam. Sebulan udah 56 jam. Setahun udah 672 jam = 28 hari = 1 Februari What a wow! Kalo misal kita hidup sampai umur 60 tahun, berarti kita habisin 50 Februari di jalan yang sama artinya dengan 4 tahun 2 bulan di jalanan (anggap umur 0-10 tahun kita belum cukup aktif berkeliaran ke mana-mana). What a big wow!
Saya emang nggak hidup di Jakarta yang macetnya begitu nista, saya hidup di Jogja-Solo-Karanganyar, tapi itu sudah cukup membuat saya kenyang dengan macet. Tiap pulang kuliah sore, Jakal begitu mengerikan macam orang antri duit 10ribu di klenteng pas tahun baru Cina, crowded banggeetzzz. Sudah dapat dipastikan, pada jam-jam hot-hotnya pulang kantor-sekolah-kuliah (jam 4-6 sore), saya harus rela terjebak di perempatan MM untuk minimal 4x lampu merah. Sungguh manyedihkan. Jarak yang nggak seberapa harus ditempuh ibarat semut jalan di penggaris dari angka 0 cm sampai 1001 cm. Mengenaskan.
Kamis malam, minggu kemarin saya nonton Provokatif Proactive yang temanya tepatnya apa saya lupa, tapi intinya nyangkut-nyangkut kerusuhan-kerusuhan di Indonesia gitulah. Oya, sekarang saya jadi sering nonton PP gara-gara ibu saya yang seneng nonton Raditya Dika meracuni saya untuk nonton PP juga. Empat orang sebagai sampel masyarakat Indonesia yang ada di PP punya pendapat lain-lain tentang apa sebenarnya sebab aneka rupa kerusuhan di Indonesia. Ronald sebagai delegasi rakyat kelas bawah berpendapat bahwa itu karena masyarakat Indonesia aja yang emang suka kekerasan. Raditya Dika sebagai delegasi mahasiswa-nggak-lulus-lulus berpendapat kalo itu karena kecemburuan kaum minoritas sama kaum mayoritas. Joshie sebagai delegasi orang-orang berduit berpendapat kalo itu semua sebenarnya dalangnya satu, ada semacam konspirasi gitu. Panji sang delegasi orang seven-to-five (orang kantoran maksudnye) berpendapat kalo itu semua adalah bentuk pengalihan perhatian dari kasus yang lagi hot sebelumnya.
Tapi kalo dilihat-lihat, sebenernya kerusuhan-kerusuhan itu justru disebabkan oleh gabungan keempat hal yang disampaikan para delegasi-delegasi itu. Aneka rupa kerusuhan itu terjadi karena masyarakat yang gampang panas dikompori oleh isu-isu yang erat kaitannya dengan SARA dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mengalihkan perhatian publik dari kasus yang melibatkannya dengan cara menyebabkan perselisihan yang melibatkan kaum minoritas dan mayoritas. Nah, bingung kan?
Sudahlah, nggak usah habisin energi untuk kerusuhan kerusuhan itu. Ada hal lain yang lebih mendesak untuk dipikirkan, PEMERINTAH MELARANG PEREDARAN FILM-FILM LUAR NEGERI DI BIOSKOP-BIOSKOP TANAH AIR! Oh, no! Oh, tidaaaaakkkkk!
Jangan sampai hal itu terjadi, ya Allah. Jangan sampai!
Kalo sampe itu terjadi, saya akan menggantung jemuran saya sendiri, berpuasa jam 9malam-4pagi selama hidup saya, beli panci buat The Nina’s kalo saya dapat beasiswa PPA.
Mau nonton apa coba kalo film Holywood, Mandarin, daratan Eropa, maupun Bolywood dilarang gentayangan di bioskop-bioskop tanah air?? Bukannya film-film tanah air itu nggak berkualitas, tapi kalo tiap ke bioskop isinya Cuma film-film dalam negeri kan ya nggak variatif gitu, itu-itu mulu gitu. Apalagi film-film lokal tuh hobinya kompakan, kalo satu bikin film horor, semua bikin film horor, kalo satu bikin fim cinta-cintaan, semua bikin film cinta-cintaan. Makin nggak variatif lagi deh. Lagian film lokal tuh yang main itu-itu mulu. Hantu Indonesia mana yang belum main film coba? Semua jenis hantu-hantuan Indonesia udah main film. Kan kasian yang nggak suka nonton film hantu-hantuan Indonesia gitu.
Sebaiknya pemerintah mengkaji lagi, lagi, dan lagi deh sebelum benar-benar memutuskan peraturan itu. Inti dari masalah ini pajak, kan? Jadi nggak usah sampai dilarang gitu, cukup diperbaiki aja sistem pajak dan peredarannya. Diatur ulang gitu, nggak usah dilarang sama sekali. Ruginya banyak lho kalo sampe kejadian dilarang gitu. Sayang kan kalo negara harus merugi lagi, lagi, dan lagi?
Oya, cuit-cuit Kepompong ini
Makasih ya Mas Dikaaaa....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar